Friday, June 22, 2007

PLTN Lebih Bernuansa Politis

Kesiapan Masyarakat Dipertanyakan

Jakarta, Kompas - Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, lebih karena desakan politik negara maju ketimbang kebutuhan riil energi nasional. Untuk memenuhi kebutuhan energi jangka panjang, Indonesia masih punya sumber energi lain yang bisa dioptimalkan.

Ketua Masyarakat Anti Nuklir Indonesia Dian Abraham mengemukakan hal itu, di Jakarta, Kamis (21/6). Menurut Dian, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Muria merupakan bagian dari strategi negara maju untuk menjual teknologi nuklirnya ke negara-negara berkembang.

"Kita jangan terburu-buru menerimanya. Lebih baik, kita serius mengembangkan sumber energi lain yang lebih aman dan bisa mendorong kemandirian bangsa. PLTN hanya akan membuat bangsa ini kian bergantung pada negara lain karena kita tak punya teknologi pengayaan uranium maupun pengolahan limbahnya," jelas Dian.

Mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada tahun 2025 batu bara menjadi prioritas sumber energi, yaitu sebesar 33 persen. Disusul gas 30 persen, minyak bumi 20 persen, dan energi baru terbarukan 17 persen.

Biomassa, nuklir, air, surya, dan angin termasuk energi terbarukan yang menyumbangkan pasokan energi kurang dari 5 persen. "Sumbangan energi yang diharapkan dari nuklir ini sangat kecil, masih bisa disubstitusi energi terbarukan lainnya, seperti air, surya, dan angin. Lebih baik kita danai penelitian besar-besaran untuk mencari energi alternatif selain nuklir," jelas Dian.

Menurut Dian, PLTN di Muria juga akan kian menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan pulau-pulau lainnya. "Kenapa tidak dikembangkan sumber energi lain yang bisa menghidupkan pembangunan pulau-pulau di luar Jawa, termasuk pulau-pulau kecil yang tertinggal," jelas Dian.

Kesiapan masyarakat

Secara terpisah, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mempertanyakan kesiapan masyarakat dan sumber daya manusia untuk membangun PLTN. "Kalau PLTN keputusan pemerintah, kami sebagai bagian dari pemerintah akan mengikuti. Namun, ada syarat-syarat terkait lingkungan hidup yang harus diikuti. Sebetulnya, generasi keempat PLTN tinggal 0,25 persen risikonya, tetapi biayanya memang besar. Sebagai satu paket kebijakan kalau ditata rapi tidak masalah," ujar Rachmat.

Instalasi yang menyangkut risiko lingkungan perlu penelitian-penelitian mendalam, baik secara teknis maupun secara sosial ekonomi dan lingkungan. Dalam pembuatan instalasi PLTN, Kementerian Negara Lingkungan Hidup jelas terlibat, terutama terkait analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Asisten Deputi Pengkajian Dampak Lingkungan KLH Hermien Rosita menambahkan, Setelah amdal, nantinya ada yang harus dikaji lebih detail lagi yang disebut dengan environmental risk assessment (ERA). Sejak perencanaan sampai pasca instalasi akan diikuti. Di dalam dokumen amdal terdapat janji-janji dari perusahaan yang akan mengoperasionalkan instalasi untuk mengelola lingkungan hidup.

Selain itu, terdapat berbagai alternatif, misalnya terkait lokasi pembangunan dan teknologi yang digunakan. Pengkajian terkait lokasi, misalnya jarak instalasi dengan permukiman dan kemungkinan bencana alam. Output dari amdal adalah rencana kelola lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) sebagai janji dari pemrakarsa.

Amdal bagian dari perizinan dengan persyaratan dan tidak dapat membatalkan. Sedangkan perizinan diberikan oleh departemen teknis, yakni Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Kita bukan palang pintu, tetapi memberikan masukan-masukan. Kalau itu terlanggar, tentu kita keberatan. Amdal dilihat dari konteks kita menyehatkan proyek itu. Kita tidak punya hak veto. Kalau tidak diindahkan, ya, kita mengusap dada," ujar Rachmat. (INE/AIK)

No comments: