Friday, June 8, 2007

Pelajaran Kejujuran

Seto Mulyadi

Pelajaran kejujuran sedang berlangsung di sebuah sekolah yang bernama Indonesia. Para murid adalah rakyat dan gurunya adalah para pemimpin bangsa ini.

Seperti pelajaran di sekolah, para murid dengan cepat menangkap pelajaran yang diberikan jika guru menguasai materi pelajaran dan mampu mengajarkannya dengan benar.

Pelajaran yang sedang diajarkan adalah perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari. Kata-katanya bisa dipercaya, tidak berbohong, tidak mencuri, tidak korupsi, dan sejumlah "tidak" lainnya. Jika guru dan siswa menjalankan kejujuran, dijamin bangsa ini kelak terhindar dari kehancuran. Maka, selain dituntut mampu menerangkan teori, para guru pun dituntut mampu memberi contoh kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam psikologi belajar dikenal prinsip modelling. Artinya, murid dengan mudah akan melakukan suatu perilaku tertentu melalui proses peniruan pada sang model. Model ini bisa siapa pun yang bertindak sebagai model. Apakah itu orangtua, guru, maupun orang-orang yang dikaguminya.

Jangan berharap anak akan senang belajar jika di satu sisi anak disuruh rajin belajar, sementara ibunya lebih asyik menyaksikan sinetron di televisi. Atau jangan berharap anak berperilaku jujur jika orangtua atau guru menyuruh sang anak berbohong atau bertindak tidak jujur. Di sekolah anak akan malas belajar matematika jika sang guru tidak menunjukkan minat pada matematika atau kurang menguasai mata pelajaran itu.

Seorang guru yang mengajar mata pelajaran dengan sikap gembira, kreatif, dan penuh antusiasme akan menghasilkan siswa yang antusias pula pada pelajaran itu dan mampu menguasainya dengan lebih mudah.

Keteladanan guru

Lalu, bagaimana dengan pelajaran kejujuran yang sedang berlangsung di negeri ini? Apakah para guru sudah mengajarkannya dengan cara-cara yang benar melalui berbagai contoh atau keteladanan yang nyata?

Misalnya kasus aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang menyangkut para tokoh terhormat di negeri ini. Atas kasus itu, apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan jujur akan berani memanggil semua pihak yang diduga menerima aliran uang itu sebagaimana disebutkan oleh saksi di persidangan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan? Apakah pengakuan seorang tokoh yang menggemparkan itu secara jujur juga berani diakui oleh pihak-pihak terkait, lalu memicu prakarsa untuk berani membongkar borok korupsi yang tertutup rapi di balik kekuasaan formal yang dimiliki beberapa pemimpin bangsa?

Begitu pula kasus kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN). Apakah pihak-pihak terkait dengan jujur berani mengakui kenyataan yang ada dan membawa kasus yang merusak citra pendidikan ini ke depan meja hijau? Atau dengan jujur berani mengevaluasi kembali manfaat pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan siswa? Atau dengan jujur berani mengakui bahwa ada intimidasi terhadap para guru yang telah mengungkap kecurangan dalam UN? Bagaimanapun juga, pengungkapan kecurangan itu merupakan bukti kerisauan atas kecurangan dalam pelaksanaan UN. Adakah mereka diberi perlindungan?

Dalam kasus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), kejujuran diperlukan untuk berani mengakui adanya kepemimpinan yang tertutup, otoriter, dan lemah, manajemen tirani yang tidak mampu mengelola kampus sebagai institusi akademis yang intelek terhormat serta sistem pendidikan yang kacau sehingga perlu dilakukan perombakan menyeluruh pada institusi itu.

Kejujuran partai politik untuk berani mengusung calon yang bersih dalam setiap pemilihan dan mengedepankan kepentingan terbaik bagi rakyat juga diuji. Masih ada ribuan contoh lain.

Seandainya...

Sebagai guru negeri dalam hal kejujuran, para pemimpin bangsa dituntut untuk mulai memberi contoh-contoh nyata perilaku jujur, yaitu berani mengungkap kebenaran, berani mengakui kesalahan, dan berani meminta maaf secara terbuka kepada rakyat.

Sebagai murid, rakyat dengan mudah akan menangkap pelajaran kejujuran yang dijelaskan guru, mampu memahami dan menguasainya dengan baik.

Seandainya semua itu terjadi, betapa bahagianya bangsa ini. Indonesia akan semakin maju dan perkasa, berkembang setara dengan bangsa-bangsa unggul lainnya di dunia.

Namun bila tidak, mungkin kita semua masih harus sabar menunggu satu dua generasi lagi ke depan, yaitu dengan mulai mengajarkan makna kejujuran kepada anak-anak kita sejak usia dini pada saat ini juga.

Seto Mulyadi Ketua Komnas Perlindungan Anak

No comments: