Sebuah kalimat bersayap menyebutkan, "dua gajah berlaga, pelanduk mati di tengah". Dua gajah tersebut sekarang ini adalah China dan India, sedangkan pelanduknya adalah negara-negara ASEAN. Bahwa dua gajah tersebut sedang dan nantinya terus berlaga, sudah bisa dipastikan. Tetapi, apakah si pelanduk, ASEAN, harus mati terimpit ketika dua raksasa ekonomi baru dunia tersebut sedang sibuk berlaga?
Tentu saja terserah kepada ASEAN sendiri. Mereka ingin mati konyol atau justru dengan cerdik mampu memainkan daya saing berikut potensinya sehingga berhasil mencuri peluang. Maka, mari Think ASEAN, berpikirlah secara ASEAN. Jangan hanya berpikiran sempit, kuper, kurang pergaulan, dan malah sibuk memikirkan diri sendiri, negara per negara. Sekarang harus sudah berani berpikir secara regional dan itu maknanya, tidak bisa lain, himpun kekuatan ASEAN.
Buku karya bersama Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, dan Hooi Den Huan, tiga pakar marketing dari AS, Indonesia, dan Singapura, mengajak kita merenung sekaligus memahami, potensi ASEAN sebenarnya besar sekali. Maka, justru inilah hal pertama yang harus dimainkan, khususnya sebagai tindak lanjut dari kesepakatan bersama dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Cebu, Filipina, awal tahun 2007, keinginan untuk membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015.
Globalisasi, resep terbaik?
Globalisasi memang sudah pernah menjadi kata kunci sebagai upaya untuk meraih kemakmuran dunia. Gagasan tersebut berawal tahun 1400-an, ketika Cheng Ho berlayar dari daratan China menuju Nan Yang, Laut Selatan, dan ternyata membawanya sampai ke Afrika. Hampir berbareng, tetapi berlawanan arah, dengan pelayaran Christopher Columbus ketika meninggalkan Spanyol untuk menemukan dunia baru di arah barat, Amerika, yang awalnya tidak pernah dia bayangkan. Gelombang pertama globalisasi telah mengubah peta ekonomi dunia dan menentukan cakrawala baru.
Disusul gelombang kedua globalisasi, dimulai 400 tahun sesudah gelombang pertama, dengan penemuan mesin uap yang segera memicu industrialisasi berikut segala macam cara untuk menyamankan kehidupan masyarakat di bagian dunia tertentu, tetapi menyulut ekses di bagian dunia lain, berikut melahirkan sistem kolonialisme dengan segala deritanya.
Akhirnya, muncul gelombang pasang ketiga globalisasi. Setelah Perang Dunia II selesai, dilanjutkan dengan Perang Dingin dan ditemukannya internet. Ketika kekuasaan ekonomi berikut bisnis tidak lagi mengindahkan batas negara sehingga negara kecil dengan potensi raksasa bisa mempunyai kekuatan tampil ke depan. Tercermin ketika Dubai akan mengelola pelabuhan di Amerika Serikat yang segera memicu protes keras. Juga tampak setelah Temasek dari Singapura menguasai Shin Corp di Thailand dan menyeret lengsernya kekuasaan pemerintahan Thaksin Shinawatra.
Beragam pengalaman buruk dengan globalisasi sudah diingatkan Alan Rugman tahun 2000 melalui buku The End of Globalization. Dengan sinis dia melukiskan, globalisasi tidak lebih dari mitos. Bahkan, pasar bersama hanya impian yang tidak pernah bakal bisa terwujudkan. Sesudah globalisasi ternyata bukan resep tuntas yang sanggup menyembuhkan penyakit ekonomi dunia, kini masyarakat disadarkan oleh kehadiran potensi baru, dikenal dalam istilah regionalisasi.
Keperkasaan Uni Eropa
Bulan lalu masyarakat dunia telah menyaksikan pesona 50 tahun keperkasaan ekonomi Uni Eropa. Tumbuhnya sebuah kekuatan regional baru, yang dulu belum terbayangkan. Kesatuan dari beragam negara dengan sistem politik berbeda dan suku bangsa berbeda, tetapi telah melahirkan kekuatan ekonomi sangat mengesankan.
Uni Eropa memang kisah sukses. Bagaimana negara di daratan Eropa menyatu dengan mewujudkan satu pasar bersama, satu mata uang, satu bank sentral, dan praktis telah bisa meniadakan batas antarnegara dalam kawasan bersama, Uni Eropa. Apakah ASEAN akan bisa mengikuti jejak tersebut?
ASEAN dilahirkan tahun 1967 dari kesepakatan Bangkok, diawali dengan lima negara anggota, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Dalam perjalanan waktu, ASEAN berkembang menjadi 10 negara anggota.
Dilengkapi dengan kenyataan yang malah sering dilupakan, bahwa ASEAN mencakup kawasan seluas 4.480.000 km>sup<2>res<>res<>
Pada sisi lain, ketika globalisasi sudah tidak memikat dan sengaja atau tidak bahkan mendorong kebangkrutan ekonomi sejumlah negara, maka muncul pertanyaan sangat mendasar, apakah ASEAN tetap ingin berkutat dalam paradigma lama, terbatas berkiprah dalam masalah keamanan dan politik? Ataukah mereka juga bersedia untuk semakin membuka diri dengan menyatukan langkah dan tekad untuk bisa membangun sebuah kawasan yang benar-benar menyatu agar bisa membuka alternatif baru dengan memanfaatkan peluang dari berlaganya China dan India?
Jangan sampai dilibas
Dilihat dari standar dunia, setiap negara di ASEAN secara sendiri-sendiri akan selalu lemah, tidak punya daya saing, dan dengan mudah malah bakal dilibas kekuatan ekonomi dunia. Semua produknya tidak akan pernah bakal bisa kompetitif akibat keragaman pendapatan nasional tiap-tiap negara, perbedaan bahasa dan juga latar belakang budayanya. Sementara di pihak lain, sumber bahan mentah, kondisi makroekonomi, sekaligus kestabilan politik dan besarnya jumlah penduduk justru akan merupakan daya tarik tersendiri untuk bisa memikat datangnya investasi dari negara-negara lain.
Oleh karena itu, jika kekuatan berikut kelemahan ASEAN seperti disebutkan di depan sudah bisa disadari, maka peluang untuk bisa menyatukan langkah sudah terbuka. Pada satu sisi membuka kesempatan untuk mulai melahirkan proyek bersama antar-ASEAN. Dan yang juga tidak boleh dikesampingkan, terbukanya peluang bagi sektor bisnis swasta, selaku penyumbang terbesar atas produk domestik bruto ASEAN, bisa merintis kerja sama antarnegara tetangga.
Memang amukan bencana tahun 1997, yang terkenal dalam istilah krisis ekonomi Asia, mungkin telah menciutkan nyali dan bagaikan hantu, untuk sejumlah negara tertentu masih menakutkan. Namun, dalam perjalanan waktu menunjukkan bahwa semakin lama rasa percaya diri ASEAN sudah mulai bangkit kembali. Hal tersebut tampak dari dampak keberhasilan upaya mewujudkan ASEAN tumbuh menjadi kawasan paling potensial di seluruh Asia Pasifik.
Sejauh ini kebijakan bersama yang disepakati adalah terwujudnya gagasan Masyarakat Ekonomi Bersama ASEAN pada tahun 2015 atau lima tahun maju dari rencana awal. Tiga tiang utama bakal jadi penunjangnya: ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Gagasan untuk mewujudkan satu masyarakat ASEAN tersebut mau tidak mengharuskan ke-10 negara ASEAN bergandengan tangan dan bantu-membantu.
Tentu saja tekad untuk mewujudkan ASEAN sebagai satu kawasan yang nantinya tanpa batas antarnegara menimbulkan beragam implikasi, khususnya untuk pelaku bisnis yang sudah terbiasa menjadi pemain lokal atau "jago kandang". Mereka tidak hanya akan bertarung dengan sesama pemain lokal, tetapi juga langsung ditambah dengan masuknya pelaku bisnis dari negara tetangga dan perusahaan multinasional yang memang tidak pernah kenal batas negara. Mampukah mereka? Tidak ada lagi kata lain, harus mampu.
Dadu sudah telanjur dilemparkan sehingga mau tidak mau, cepat atau lambat, siap atau tidak, ditunggu atau ditolak, tahun 2015 tidak lama lagi akan tetap datang dan ASEAN Community bakal terwujudkan. Begitu tantangan sekaligus nasihat paling bermakna yang telah dikemukakan dalam buku menarik ini.
Apakah ASEAN sanggup memanfaatkan potensi berikut kelebihannya dan berhasil mencuri peluang? Ataukah, seperti isyarat dalam kalimat bersayap pada awal tulisan, pelanduk yang menurut kodratnya cerdik malah harus mati terimpit di tengah?
Dan, nantinya ASEAN bakal segera hilang begitu saja dari catatan sejarah. Sesuatu yang seyogianya memang harus dihindarkan.
No comments:
Post a Comment