IPTEK
Mitos Hipermobilitas
NINOK LEKSONO
Pertumbuhan seluler terus membuat pabrikan telepon seluler (ponsel) berbunga-bunga. Selain pembuat ponsel, pihak yang ikut besar hati dengan pertumbuhan penggunaan sarana komunikasi mobile ini adalah juga pengelola internet. Februari lalu, Vice President Google, yang juga dikenal sebagai penganjur internet, Vinton G Cerf, mengatakan, yang akan menjadi pendorong pertumbuhan worldwide web bukan personal computer atau PC, tetapi ponsel. Ini karena negara seperti India menyerap jutaan ponsel setiap bulannya (AFP/JP, 21/2).
Optimisme Cerf, tokoh yang juga dipandang sebagai salah seorang bapak pendiri internet, mungkin ada benarnya. Di Indonesia pun pemahaman orang mengenai internet sudah banyak beralih dari komputer meja ke gadget mobile, lebih-lebih ketika ponsel pintar dan layanan 3G semakin luas.
Mencari informasi kini semakin luwes, tidak terikat waktu, tempat, dan hanya melalui satu media. Bahkan, dari sudut pandang industri media, demikian pula dari sisi jurnalistik, makin populernya ponsel sebagai alat akses informasi membawa perubahan gaya (style). Misalnya saja konsep conciseness atau keringkasan penulisan berita dipaksa untuk diterapkan dalam format berita SMS yang hanya mengakomodasi 160 karakter.
Dari sudut pandang ketersediaan infrastruktur teknologi, banyak hal seperti telah siap tersedia. Massa kritis kepemilikan ponsel—yang di Indonesia telah mencapai 60-an juta—telah tercapai. Akan tetapi, apakah semua infrastruktur tersebut akan sepenuhnya termanfaatkan? Untuk menjawabnya, orang masih harus melihat sisi lain.
Dalam edisi 7 Juni lalu, The Economist menyajikan laporan menarik tentang teknologi dan masyarakat, yaitu bagaimana perilaku pengguna teknologi komunikasi dikaji oleh antropolog.
Laporan ini mendapat respons cukup luas di kalangan blogger dan pengamat telekomunikasi. Apakah benar pengguna ponsel akan memanfaatkan semua kemudahan yang diberikan oleh teknologi, misalnya untuk mencari berita atau mengerjakan urusan lainnya, di mana saja, kapan saja? Pengalaman memperlihatkan, meski tersedia, layanan telepon video tidak meledak penggunaannya. Hal yang sama diyakini juga berlaku untuk bekerja di mana saja menggunakan ponsel, walaupun tentu masih harus diperjelas apa yang dimaksud dengan "bekerja" di sini karena menghubungi rekan sekerja dengan ponsel melalui telepon SMS mungkin sudah bisa digolongkan bagian dari bekerja.
Temuan menarik
Stefana Broadbent, antropolog yang memimpin User Adoption Lab di Swisscom, operator telekomunikasi paling besar di Swiss, telah menemukan pola-pola penggunaan teknologi komunikasi berdasar riset di sejumlah negara Eropa.
Misalnya saja, meski ponsel membuat mudah orang untuk berkomunikasi dengan teman yang lebih banyak, ternyata pada umumnya pengguna memanfaatkan 80 persen waktu untuk berkomunikasi hanya dengan empat orang.
Lainnya, di tengah maraknya wacana tentang "konvergensi" dalam industri telekomunikasi, ternyata orang menggunakan teknologi yang berbeda untuk cara dan maksud berbeda. Telepon fixed-line dianggap sebagai "kanal kolektif, alat organisasional yang dipakai banyak orang (shared), dengan sebagian besar panggilan dibuat di tempat umum karena dianggap ada kaitan dengan anggota rumah lainnya". Sementara itu, telepon seluler dilakukan untuk perencanaan mendadak (last minute), atau untuk mengoordinasikan rapat atau perjalanan. Sementara SMS adalah untuk "keintiman, emosi, dan efisiensi". E-mail untuk administrasi, tukar-menukar foto, dokumen, dan musik. Instant messaging (IM) dan telepon VoIP dianggap sebagai "kanal sepanjang waktu (continous channel), terbuka di latar belakang sementara orang melakukan hal lain.
Jadi, menurut Broadbent, "Setiap kanal komunikasi menjalankan fungsi yang makin lama makin berlainan."
Mitos hipermobilitas
Jaringan seluler yang semakin baik, meluasnya jaringan 3G, dan Wi-Fi, kini telah bisa membuat orang tidak harus selalu di belakang meja untuk mengerjakan tugasnya. Namun, Broadbent menemukan dalam penelitiannya, meskipun orang punya sarana, ternyata minat untuk bekerja saat bepergian atau di luar kantor (on the move) kecil saja. Atas dasar itulah peneliti ini menilai faham hipermobilitas —yang mengasumsikan orang terus bekerja di mana saja—sesungguhnya hanya mitos belaka.
Broadbent melakukan penelitian terhadap orang yang menghabiskan lebih dari separuh waktunya di luar kantor—salesman, konsultan, pilot, wartawan, fotografer—dan menemukan, bahwa mereka berkomunikasi ketika bepergian, mengumpulkan informasi, tetapi mereka tetap mengerjakan pekerjaannya di meja setelah kembali ke kantor.
Broadbent menemukan bahwa kamar hotel dan bandara "bukan lingkungan tepat untuk bekerja serius". Paling jauh, di tempat itu orang hanya ber-e-mail.
Bila penelitian Broadbent benar, sesungguhnya demam ponsel pintar atau gadget lain, seperti personal digital assistance (PDA) dan komunikator bisa menjadi obyek penelitian tersendiri. Beragam gadget itu diciptakan dengan konsep untuk membawa kantor ke mana saja, dan memang alat-alat tersebut dilengkapi berbagai kemampuan untuk itu.
Namun, rupanya alam psikologi manusia tidak begitu saja diubah oleh teknologi. Bekerja, ya di kantor, mungkin itu bawah sadar yang banyak dibawa orang yang mungkin juga membawa ponsel pintar.
Bila hipermobilitas benar hanya mitos, berarti yang menang adalah style dan fashion.
No comments:
Post a Comment