Saturday, June 30, 2007

Pendidikan
Humaniora yang Kian Tersisih

K Bertens

Dalam pendidikan modern, humaniora semakin terdesak. Proses ini sudah lama berlangsung dan tampak di segala tahap pendidikan. Di sini kita membatasi diri pada pendidikan tinggi saja.

Dalam universitas-universitas pertama di Eropa (sejak abad ke-13), humaniora memainkan peranan sentral. Saat itu humaniora dimengerti sebagai artes liberales atau the liberal arts yang diajarkan dalam Fakultas Artium (the Faculty of Arts).

Intinya adalah filsafat, terutama di Universitas Paris. Semua mahasiswa harus menjalani pendidikan di Fakultas Artium dulu, sebelum diterima di fakultas lain (waktu itu masih sebatas fakultas teologi, hukum, dan kedokteran).

Semakin sempit

Dengan perkembangan ilmu dan teknologi pada zaman modern, jumlah fakultas di perguruan tinggi bertambah besar dan sekaligus peranan humaniora berkurang terus. Kini, dengan humaniora dimengerti ilmu sejarah, filsafat, ilmu bahasa serta sastra, dan ilmu-ilmu budaya lain, ruang gerak untuk mereka menjadi semakin sempit. Sekarang hal itu tampak lagi dengan jelas di Eropa. Di situ selama kira-kira sepuluh tahun terakhir diupayakan restrukturisasi pendidikan tinggi dalam rangka Persetujuan Bologna.

Negara-negara Eropa yang menjadi partisipan sepakat untuk menciptakan struktur pendidikan tinggi yang sama, sehingga kerja sama dan pertukaran antaruniversitas sangat dimudahkan. Hasilnya adalah struktur "bama" (bachelor-master). Dalam program bachelor (3 tahun) orang muda sudah disiapkan untuk masuk pasar kerja. Diberi tekanan besar pada profesionalisme, keterampilan, dan keahlian. Dalam program master (umumnya 1 tahun) dapat ditambah lagi sebuah spesialisasi atau, kalau ingin, bahkan dapat diambil beberapa program master.

Pembaruan pendidikan tinggi di Eropa itu tentu ada banyak aspek bagus, tetapi suatu akibat negatif adalah bahwa humaniora lebih banyak lagi disingkirkan dari kurikulum.

Beberapa waktu lalu, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Belanda Profesor Frits van Oostrom mengkritik keadaan dalam pendidikan tinggi di Belanda itu (NRC-Handelsblad, 9-1-2007). Tujuan pendidikan tinggi di Belanda adalah menghasilkan profesional yang unggul dan piawai, tapi kurang diperhatikan bahwa dengan demikian para mahasiswa memperoleh pandangan yang agak sempit.

Dididik insinyur, ekonom, biolog, ahli hukum, dan profesional lain yang pandai, tapi kurang diberikan visi dan kreativitas kepada orang-orang muda itu. Banyak bakat mereka tidak dikembangkan. Pendidikan mereka bersifat berat sebelah. Jika kita bandingkan dengan keadaan di Amerika Serikat, di situ pendidikan tinggi masih memberi banyak kesempatan kepada humaniora yang justru berasal dari Eropa (liberal arts).

Universitas-universitas di Amerika dalam tahap pertama (bachelor) memberikan suatu pendidikan luas dulu, sebelum mahasiswa mengambil spesialisasinya. Hal itu tampak dalam kurikulum inti di banyak universitas Amerika. Misalnya, dalam pedoman studi Universitas Harvard dikatakan: "Filsafat Kurikulum Inti bertumpu pada keyakinan bahwa setiap lulusan Harvard harus terdidik secara luas dan serentak, juga terlatih dalam suatu spesialisasi atau konsentrasi khusus".

Lebih lanjut dituliskan, "Diandaikan bahwa para mahasiswa membutuhkan bimbingan tertentu dalam mencapai tujuan tersebut dan bahwa korps dosen mempunyai kewajiban mengantar mereka kepada pengetahuan, keterampilan intelektual, dan kebiasaan berpikir yang merupakan ciri khas pria dan wanita yang terdidik". Lalu menyusul sebuah daftar dengan lebih dari 100 mata kuliah pilihan tentang topik-topik sejarah, kesenian dan sastra, filsafat dan etika, analisis sosial, dan lain-lain. Setiap mahasiswa wajib mengambil sejumlah mata kuliah dari topik-topik humaniora tersebut.

Inovatif

Setelah membandingkan sistem pendidikan tinggi di Eropa dengan sistem di Amerika Serikat, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Belanda itu mengajukan pertanyaan yang menarik. Ia mengatakan: secara umum diketahui bahwa Amerika Serikat memiliki perekonomian paling inovatif di dunia. Perekonomian ini mempunyai kemampuan untuk bertahan dan menyesuaikan diri di tengah banyak perubahan.

Inovasi menuntut pemikiran kreatif dan kesanggupan senantiasa mencari jalur-jalur baru. Apakah sifat perekonomian Amerika ini tidak berhubungan dengan sistem pendidikan tinggi di sana? Pertanyaan ini tidak pernah dapat dijawab dengan pasti. Sulit untuk dibuktikan bahwa suasana ini disebabkan oleh peranan humaniora di sana. Lebih mudah dapat diakui bahwa suasana ini sesuai dengan apa yang dimaksudkan dengan humaniora.

Orang modern sering bersikap utilitarian. Minatnya terarah kepada manfaat dan prestasi yang nyata. Di sini humaniora mau tidak mau harus mengecewakan. Berbekal humaniora saja, para lulusan perguruan tinggi tidak bisa membangun jembatan dan gedung bertingkat. Tetapi, melalui humaniora dapat dihasilkan sesuatu yang penting juga. Humaniora memberikan wawasan yang luas, kapasitas untuk berubah, visi yang kreatif, kepekaan untuk implikasi sosial dan kultural, kemampuan untuk melihat the whole picture. Dengan demikian, sifat berat sebelah pendidikan teknis dan ilmiah dapat diimbangi.

Melalui humaniora dapat dikembangkan juga bakat untuk memimpin. Akhir-akhir ini beberapa universitas memasukkan mata kuliah leadership dalam kurikulum. Namun, selain isinya kurang jelas, dapat diragukan juga apakah dengan satu mata kuliah saja kita dapat mendidik pemimpin. Sebaliknya, bila mahasiswa telah belajar berpikir kritis, bernuansa, kreatif, dan holistik, ia dipersiapkan juga sebagai pemimpin (asalkan ada cukup bakat alamiah). Syaratnya tentu bahwa humaniora diberikan dengan cara berbobot dan dekat dengan aktualitas.

Kasus di Indonesia

Dalam hal kualitas, keadaan humaniora di Indonesia rupanya justru sebaliknya dari keadaannya di dunia Barat. Di universitas-universitas Eropa dan Amerika, humaniora masih mempunyai kedudukan kuat.

Mereka mempunyai tradisi yang sudah panjang. Mereka memiliki juga infrastruktur akademis yang kukuh, seperti perpustakaan. Mereka juga kuat dalam kerja sama internasional. Kesulitan mereka adalah jumlah mahasiswa yang berminat untuk studi humaniora semakin kecil, dan kesempatan untuk mengajar humaniora di tempat lain semakin sempit.

Di Indonesia, posisi humaniora masih lemah. Infrastruktur akademis yang mendukung juga lemah. Universitas memberi prioritas mutlak kepada pengembangan ilmu dan teknologi. Fakultas yang berkecimpung di bidang itulah dapat mengirim dosennya untuk studi lanjut di luar negeri. Dosen humaniora yang memiliki gelar S-3 dari universitas terkemuka di luar negeri hampir tidak ada. Mutu mahasiswa humaniora juga tidak meyakinkan.

Depresiasi terhadap humaniora sebenarnya sudah mulai di SMA, di mana jurusan IPA dianggap identik dengan siswa yang berbakat. Namun, jangan kita lupa, diukur dengan standar IPA, orang seperti William Shakespeare mungkin mendapat penilaian jelek sekali! Jadi, perjuangan untuk memajukan humaniora menjadi lebih berat lagi di Indonesia.

K Bertens Anggota Staf Pusat Pengembangan Etika, Universitas Atma Jaya, Jakarta

Mitigasi Bencana
Konferensi Rakyat untuk Bangun Kekuatan Mandiri

Jakarta, Kompas - Bencana akibat kerusakan ekologis di Indonesia pada waktu mendatang akan makin kerap berulang. Kekuatan kolektif masyarakat secara mandiri kian dibutuhkan untuk mengurus dirinya sendiri dan untuk menekan pemerintah supaya lebih serius menyikapi kondisi rawan bencana ini.

Untuk membangun kekuatan masyarakat secara mandiri tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memelopori Konferensi Rakyat Indonesia, yang diselenggarakan pada 30 Juni hingga 3 Juli 2007 mendatang. Pertemuan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia ini akan dibuka secara resmi Minggu (1/7) dan bakal dihadiri sekitar 1.600 peserta.

Konferensi yang dilaksanakan di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, ini mengambil tema "Membangun Kekuatan Kolektif Masyarakat untuk Mereduksi Risiko dan Dampak Bencana Ekologis".

"Paradigma eksploitatif yang merusak lingkungan harus dihentikan," tegas Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad dalam jumpa pers, Jumat (29/6). Pada tahun 2006 terjadi 135 kali bencana ekologis berupa banjir dan longsor, hingga menewaskan sedikitnya 7.000 jiwa dan lebih dari 10 juta jiwa mengungsi.

"Intensitas bencana ekologis dalam lima tahun terakhir naik tiga kali lipat. Karena itu ke depan, kekuatan kolektif masyarakat harus menekannya," ujarnya.

Kepala Biro Data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Priyadi Kardono mengatakan, pada 2006 di Indonesia di antaranya terjadi banjir 312 kali, banjir disertai tanah longsor 27 kali, tanah longsor 74 kali, dan kekeringan di 184 lokasi.

Chalid melanjutkan, bencana ekologis itu disebabkan eksploitasi hutan dan alih fungsi hutan. Walhi memperkirakan bila tidak ada upaya penyelamatan, tahun 2023 hutan di seluruh Indonesia punah. (NAW)

Tanaman Pangan
Perlu Rekayasa Sosial

Bogor, Kompas - Guna mencapai swasembada beras dan benih padi secara nasional, pertanian padi dalam negeri bukan saja membutuhkan percepatan inovasi teknologi, tetapi juga rekayasa sosial, yang berbasis pada masyarakat petani itu sendiri.

Karena itu, pendampingan para petani yang saat ini melemah pascaberlakunya otonomi daerah perlu diperkuat lagi. Dengan demikian, para petani andalan dapat diberdayakan untuk memperkuat ketahanan pangan padi.

Demikian terungkap dalam pemaparan Tim Peneliti Padi Institut Pertanian Bogor (IPB) mengenai potensi pengembangan padi secara nasional di Bogor, Jumat (29/6). Tim Peneliti Padi IPB di antaranya menawarkan pengembangan komunitas estat padi yang menggabungkan manajemen pengelolaan sawah yang berbasis pada petani itu sendiri.

Menurut Aris Munandar, Wakil Dekan Fakultas Pertanian IPB yang juga anggota tim tersebut, untuk membangun komunitas estat padi sehingga areal sawah yang dikelola dalam satu manajemen bisa mencapai 200-250 hektar, petani perlu diberdayakan. Dengan cara ini, mereka tetap terlibat dan mendapat keuntungan lebih baik daripada mengelola padi secara sendiri-sendiri yang umumnya memiliki lahan sekitar 0,3 hektar.

"Rekayasa sosial dalam pengelolaan sawah para petani itu akan dilakukan tahun depan di wilayah Majalengka, Sumedang, Cianjur, dan Sukabumi. Petani akan didampingi dalam mengimplementasikan inovasi teknologi, termasuk penggunaan benih unggul," kata Aris.

Dalam menciptakan ketahanan pangan, Indonesia sebenarnya sudah memiliki teknologi pertanian. Kesiapan sumber daya manusia bisa ditingkatkan dengan pendampingan dan penyuluhan. "Tetapi political will dari pemerintah sendiri masih lemah untuk menjadikan pertanian sebagai kekuatan ekonomi bangsa. Kebijakan yang diambil sering kali melukai para pihak yang berkomitmen mendukung pencapaian revitalisasi pertanian untuk kemajuan bangsa. Ini bisa terlihat dari rencana impor benih padi hibrida dari China. Padahal, para peneliti sudah berhasil menemukan banyak varietas padi hibrida yang lebih cocok untuk ditanam di sini," jelas Aris.

Wakil Rektor Bidang Akademik IPB MA Chozin mengatakan, ketahanan pangan Indonesia memerlukan komitmen serius untuk tidak hanya mengandalkan pada satu komoditas pangan, misalnya beras saja. Selain itu, jika berbicara padi, pengembangannya perlu dilakukan di lahan kering.

"Pengembangan padi gogo yang sebenarnya bisa memperlengkapi pengembangan padi sekarang perlu dihidupkan lagi," ujar Chozin. IPB terus mengembangkan riset padi varietas unggul tipe baru. (ELN)

Friday, June 29, 2007

Keluarga dan Kebangkitan Bangsa

Nurul Huda Haem

Tanggal 29 Juni ini, Indonesia memperingati Hari Keluarga Nasional atau Harganas. Puncak kegiatan dipusatkan di Ambon, Maluku.

Momen ini menjadi kesempatan penting untuk merefleksi sekaligus revitalisasi bangsa menuju kebangkitan. Kita sudah lelah mendengar ungkapan keterpurukan. Kejatuhan bangsa diibaratkan karnaval ketragisan dalam berbagai lini; politik, ekonomi, sosial, budaya, dan akhlak bangsa.

Informasi tentang perilaku anak bangsa yang cenderung destruktif kian menampilkan gejala dehumanisme. Dan, mereka kadang bangga saat perilaku negatifnya disiarkan media televisi.

Kriminalitas dalam keluarga, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kezaliman suami kepada istri atau orangtua kepada anak, menambah panjang daftar kekerasan yang masuk wilayah paling dirindukan, rumah.

Mulai dari keluarga

Hari Keluarga Nasional yang diperingati hari ini menjadi ajang reflektif bagi semua komponen bangsa. Boleh jadi, kejatuhan negeri ini merupakan akumulasi erosi ketangguhan keluarga. Pepatah Arab mengatakan, "Keluarga adalah tiang negara, maju mundurnya negara tergantung keluarganya". Maka, jika sebuah keluarga, yang notabene miniatur sebuah bangsa, terdiri dari pribadi-pribadi yang bermental rusak dan berkarakter korup, saat mereka berkesempatan memimpin bangsa ini dapat dipastikan mental kepemimpinannya juga rusak dan korup.

Karena itu, pembangunan karakter bangsa harus dimulai dari keluarga. Banyak agenda harus diselesaikan, di antaranya masalah kesejahteraan keluarga yang biasanya akan berujung kepada ketangguhan dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Belum lagi lemahnya mental mempertahankan keutuhan keluarga dengan maraknya kasus kawin- cerai, perselingkuhan, poligami, dan pernikahan tanpa ikatan sah (illegal wedding).

Pernikahan tanpa ikatan sah tidak hanya berbicara pada bentuk keabsahan pernikahan, tetapi pada ekses yang diakibatkan. Lemahnya legalitas hukum dari perkawinan tidak tercatat, membuka celah lebar tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan korban terbanyak umumnya kaum perempuan dan anak-anak.

Tidak disangkal, keluarga berperan strategis, secara sosial, budaya, dan ekonomi. Interaksi antarinsan yang terjalin intens, memungkinkan pengawasan menuju kehidupan lebih baik. Jika sebuah bangsa kesulitan mengawasi penduduknya, pembangunan mental dan karakter harus dimulai dari keluarga.

Dalam keluarga ada banyak fungsi yang dijalankan, di antaranya fungsi pendidikan dan perlindungan. Riuhnya pembicaraan soal sekolah rumah (home schooling) merupakan isyarat munculnya gejolak kerinduan orang akan pendidikan khas keluarga. Maka, tepat jika sebutan "sekolah rumah" itu ditingkatkan menjadi sekolah keluarga atau family schooling. Dalam keluarga, program pendidikan tidak saja diarahkan kepada anak sebagai peserta didik, tetapi keterlibatan seluruh keluarga, terutama orangtua.

Selain itu, fungsi perlindungan dalam keluarga akan menumbuhkan atmosfer keamanan dan kenyamanan. Maka, sudah seharusnya tiap anggota keluarga merasakan suasana keluarga tanpa kezaliman.

Perlu diketahui, eskalasi KDRT mengalami kenaikan amat signifikan dari tahun ke tahun. Menurut data LSM Mitra Perempuan, jumlah kasus KDRT yang terdata pada tahun 2004 mencapai 14.802 kasus, meningkat 24 persen (21.207) pada 2005. Untuk itu, perlu disasari, kekerasan dalam rumah tangga akan membuat faktor keamanan dan kenyamanan menjadi hilang. Padahal, setiap agama mengajarkan konsep menumbuhkan nuansa surgawi dalam rumah tangga.

Akses keluarga super

Problematika keluarga memang kompleks, tetapi umunnya berasal dari sumber yang sama, sikap mental yang negatif.

Kejernihan hati dan kematangan berpikir merupakan instrumen utama dalam menata kehidupan keluarga sehingga saat konflik datang, keduanya akan membimbing kita untuk kembali pada tujuan dasar perkawinan. Setidaknya ada lima prinsip dasar untuk menuju keluarga super. Yaitu, spiritual values (nilai-nilai spiritual), uniqueness (keunikan yang menjadi kekhasan keluarga kita), powerful vision (visi yang kuat), enthusiastic (antusiasme yang tinggi, semangat baik dalam menyelesaikan masalah maupun mempertahankan keutuhan rumah tangga), responsibility (kemampuan merespons dan peduli terhadap keadaan sekitarnya).

Kelima prinsip ini menjadi fondasi kokoh menuju keluarga tangguh. Dan, keluarga tangguh adalah hak setiap orang di dunia Selamat memperingati Hari Keluarga Nasional.

Nurul Huda Haem Motivator Keluarga Indonesia; Penulis Buku Awas Illegal Wedding!

Thursday, June 28, 2007

PLTN dan "Governance" Teknologi

Budi Widianarko

Pro-kontra soal PLTN berhasil memaksa dua "resi" untuk "turun gunung". Prof Liek Wilardjo, fisikawan cum etikawan senior, secara gamblang mengingatkan pihak pengambil keputusan bahwa memilih PLTN adalah sikap yang gegabah (Kompas, 12/6). Dalam ulasan yang lebih subtle, Prof (Em) Otto Soemarwoto, ekolog senior, menekankan perlunya kajian nisbah untung rugi yang mendalam sebelum opsi PLTN dipilih (Kompas, 14/6).

Buah pikiran bijak kedua cendekiawan itu sudah selayaknya tidak dikesampingkan dalam pengambilan keputusan akhir soal PLTN. Menurut hemat penulis, masih ada satu aspek lagi yang tak boleh diabaikan dalam perbincangan publik soal PLTN, yaitu governance teknologi.

Di negara yang demokratis, persetujuan masyarakat terhadap pilihan teknologi—terutama yang sarat risiko seperti PLTN—adalah syarat mutlak dalam governance teknologi. Menurut Zimmerman (1995), persetujuan masyarakat—sebagai pihak yang diperintah (the governed)—merupakan sumber utama legitimasi politik pemerintah—selaku pihak yang memerintah. Dalam governance teknologi yang demokratis dikenal apa yang disebut sebagai Kewargaan Teknologi (Technological Citizenship). Pada dasarnya, Kewargaan Teknologi adalah demokratisasi sistem teknologi untuk memperluas kesempatan warga awam (ordinary citizens) untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang tujuan, struktur, dan pengelolaan teknologi.

Tiga hak utama

Kelahiran Kewargaan Teknologi dipicu oleh dua pertanyaan fundamental, yaitu (1) "Apakah warga hanyalah pengguna atau konsumen teknologi atau produknya belaka?", (2) "Bagaimana dengan mereka yang bukan pemakai dan juga tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang teknologi tetapi terkena dampaknya? Apakah hak-hak mereka?" Sesuai dengan proses kelahirannya, pembahasan Kewargaan Teknologi lebih terpusat pada teknologi-teknologi yang berisiko tinggi dan memiliki daya rusak yang hebat, salah satunya PLTN.

Dalam konteks Kewargaan Teknologi, pengambilan keputusan tentang PLTN sudah selayaknya tidak menafikan peran warga, kecuali jika pemerintah yang bersangkutan memang sedang mempraktikkan otoritarianisme teknologi (technological authoritarianism). Kewargaan Teknologi setidaknya mencakup tiga hak utama: (1) hak untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi, (2) hak untuk berpartisipasi, dan (3) hak untuk memberikan informed consent (persetujuan berdasarkan informasi). Tiga kata kunci dalam Kewargaan Teknologi adalah otonomi, partisipasi, dan persetujuan (autonomy, participation, and consent). Dengan memiliki otonomi, warga berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan teknologi, dan harus dimintai persetujuan sebelum diambil sebuah keputusan.

Batasan tentang siapa yang dapat menjadi Warga Teknologi (Technological Citizen) lebih ditentukan oleh ruang sebaran dampak (sphere of impact) suatu teknologi. Untuk sebuah PLTN pada dasarnya setiap individu di Indonesia dapat menjadi Warga Teknologi. Belajar dari luasnya sebaran bencana Chernobyl penduduk di banyak negara Eropa—di luar bekas Uni Soviet—adalah Warga Teknologi "Chernobyl ecosphere". Jika PLTN akan dibangun di Semenanjung Muria, maka Warga Teknologi-nya tidak terbatas penduduk Pulau Jawa saja.

Mengacu studi Australian National University yang dipublikasikan sebelas tahun silam, jika terjadi sesuatu dengan PLTN di Semenanjung Muria, akibat gempa bumi, misalnya, dalam hitungan hari debu radioaktif akan menyebar ke wilayah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Jika bencana itu berlangsung antara bulan Oktober dan April, kawasan sejauh Australia pun ikut terkena.

Dengan kata lain, sphere of impact PLTN Muria mencakup hampir seluruh kawasan Asia Tenggara dan bahkan plus Australia. Akibatnya, tidak mengejutkan jika sindrom NIMBY (not in my backyard) terhadap rencana pembangunan PLTN Muria bukan hanya diidap oleh warga di sekitar Semenanjung Muria, melainkan juga oleh warga negara tetangga kita, seperti Singapura, Brunei, dan Malaysia. Jikapun kini belum mewujud dalam sebuah "protes" resmi, munculnya tulisan seperti dalam harian Straits Times, 24 April 2007, itu adalah salah satu cerminan kekhawatiran warga negara tetangga.

Menggabungkan tiga komponen kunci Kewargaan Teknologi—autonomy, participation, consent—dengan sphere of impact PLTN, maka pemerintah (dalam hal ini Batan) selaku pemrakarsa pembangunan PLTN dituntut untuk melaksanakan proses Komunikasi Risiko yang transparan dan jujur. Komunikasi Risiko ini bukan saja ditujukan kepada masyarakat di sekitar tapak proyek, melainkan juga kepada seluruh masyarakat dalam negeri, dan bahkan negara-negara tetangga.

Secara alamiah, sesuai keberadaannya, Batan dan Bapeten tentu cenderung menampilkan wajah cantik dan ramah PLTN. Masalahnya, bagaimana warga bisa menggunakan otonominya untuk berpartisipasi dan memberikan persetujuan terhadap opsi PLTN jika dilandasi oleh informasi yang hanya satu sisi itu saja? Istilah informed consent sendiri mengandung makna pemberian persetujuan setelah memperoleh informasi yang lengkap dan jujur. Diperhadapkan dengan keadaan ini, maka memang tidak ada pilihan lain bagi segenap komponen masyarakat sipil—terutama para intelektual dan ilmuwan yang peduli—untuk melengkapi gambar wajah PLTN sehingga bisa terjadi sebuah proses Komunikasi Risiko yang utuh dan seimbang.

Akhirnya, sebelum dijatuhkan pilihan terhadap PLTN—suatu teknologi yang berisiko tinggi terhadap keselamatan perorangan, masyarakat, kawasan, dan ekosistem—maka mutlak diperlukan persetujuan masyarakat. Jika tidak, meminjam ungkapan Andrew D Zimmerman (1995) dalam jurnal Science, Technology, & Human Values 20(1), "To impose such risks on people without even their tacit consent is undeniably an act of tyranny."

Mudah-mudahan pemerintah yang kita banggakan sebagai produk demokrasi tidak berubah menjadi sosok tirani bagi rakyat pemilihnya sendiri.

Budi Widianarko Guru Besar Toksikologi Lingkungan Unika Soegijapranata dan Anggota Board of Directors-Society of Environmental Toxicology and Chemistry (SETAC) Asia/Pacific

IPTEK
Mitos Hipermobilitas

NINOK LEKSONO

Pertumbuhan seluler terus membuat pabrikan telepon seluler (ponsel) berbunga-bunga. Selain pembuat ponsel, pihak yang ikut besar hati dengan pertumbuhan penggunaan sarana komunikasi mobile ini adalah juga pengelola internet. Februari lalu, Vice President Google, yang juga dikenal sebagai penganjur internet, Vinton G Cerf, mengatakan, yang akan menjadi pendorong pertumbuhan worldwide web bukan personal computer atau PC, tetapi ponsel. Ini karena negara seperti India menyerap jutaan ponsel setiap bulannya (AFP/JP, 21/2).

Optimisme Cerf, tokoh yang juga dipandang sebagai salah seorang bapak pendiri internet, mungkin ada benarnya. Di Indonesia pun pemahaman orang mengenai internet sudah banyak beralih dari komputer meja ke gadget mobile, lebih-lebih ketika ponsel pintar dan layanan 3G semakin luas.

Mencari informasi kini semakin luwes, tidak terikat waktu, tempat, dan hanya melalui satu media. Bahkan, dari sudut pandang industri media, demikian pula dari sisi jurnalistik, makin populernya ponsel sebagai alat akses informasi membawa perubahan gaya (style). Misalnya saja konsep conciseness atau keringkasan penulisan berita dipaksa untuk diterapkan dalam format berita SMS yang hanya mengakomodasi 160 karakter.

Dari sudut pandang ketersediaan infrastruktur teknologi, banyak hal seperti telah siap tersedia. Massa kritis kepemilikan ponsel—yang di Indonesia telah mencapai 60-an juta—telah tercapai. Akan tetapi, apakah semua infrastruktur tersebut akan sepenuhnya termanfaatkan? Untuk menjawabnya, orang masih harus melihat sisi lain.

Dalam edisi 7 Juni lalu, The Economist menyajikan laporan menarik tentang teknologi dan masyarakat, yaitu bagaimana perilaku pengguna teknologi komunikasi dikaji oleh antropolog.

Laporan ini mendapat respons cukup luas di kalangan blogger dan pengamat telekomunikasi. Apakah benar pengguna ponsel akan memanfaatkan semua kemudahan yang diberikan oleh teknologi, misalnya untuk mencari berita atau mengerjakan urusan lainnya, di mana saja, kapan saja? Pengalaman memperlihatkan, meski tersedia, layanan telepon video tidak meledak penggunaannya. Hal yang sama diyakini juga berlaku untuk bekerja di mana saja menggunakan ponsel, walaupun tentu masih harus diperjelas apa yang dimaksud dengan "bekerja" di sini karena menghubungi rekan sekerja dengan ponsel melalui telepon SMS mungkin sudah bisa digolongkan bagian dari bekerja.

Temuan menarik

Stefana Broadbent, antropolog yang memimpin User Adoption Lab di Swisscom, operator telekomunikasi paling besar di Swiss, telah menemukan pola-pola penggunaan teknologi komunikasi berdasar riset di sejumlah negara Eropa.

Misalnya saja, meski ponsel membuat mudah orang untuk berkomunikasi dengan teman yang lebih banyak, ternyata pada umumnya pengguna memanfaatkan 80 persen waktu untuk berkomunikasi hanya dengan empat orang.

Lainnya, di tengah maraknya wacana tentang "konvergensi" dalam industri telekomunikasi, ternyata orang menggunakan teknologi yang berbeda untuk cara dan maksud berbeda. Telepon fixed-line dianggap sebagai "kanal kolektif, alat organisasional yang dipakai banyak orang (shared), dengan sebagian besar panggilan dibuat di tempat umum karena dianggap ada kaitan dengan anggota rumah lainnya". Sementara itu, telepon seluler dilakukan untuk perencanaan mendadak (last minute), atau untuk mengoordinasikan rapat atau perjalanan. Sementara SMS adalah untuk "keintiman, emosi, dan efisiensi". E-mail untuk administrasi, tukar-menukar foto, dokumen, dan musik. Instant messaging (IM) dan telepon VoIP dianggap sebagai "kanal sepanjang waktu (continous channel), terbuka di latar belakang sementara orang melakukan hal lain.

Jadi, menurut Broadbent, "Setiap kanal komunikasi menjalankan fungsi yang makin lama makin berlainan."

Mitos hipermobilitas

Jaringan seluler yang semakin baik, meluasnya jaringan 3G, dan Wi-Fi, kini telah bisa membuat orang tidak harus selalu di belakang meja untuk mengerjakan tugasnya. Namun, Broadbent menemukan dalam penelitiannya, meskipun orang punya sarana, ternyata minat untuk bekerja saat bepergian atau di luar kantor (on the move) kecil saja. Atas dasar itulah peneliti ini menilai faham hipermobilitas —yang mengasumsikan orang terus bekerja di mana saja—sesungguhnya hanya mitos belaka.

Broadbent melakukan penelitian terhadap orang yang menghabiskan lebih dari separuh waktunya di luar kantor—salesman, konsultan, pilot, wartawan, fotografer—dan menemukan, bahwa mereka berkomunikasi ketika bepergian, mengumpulkan informasi, tetapi mereka tetap mengerjakan pekerjaannya di meja setelah kembali ke kantor.

Broadbent menemukan bahwa kamar hotel dan bandara "bukan lingkungan tepat untuk bekerja serius". Paling jauh, di tempat itu orang hanya ber-e-mail.

Bila penelitian Broadbent benar, sesungguhnya demam ponsel pintar atau gadget lain, seperti personal digital assistance (PDA) dan komunikator bisa menjadi obyek penelitian tersendiri. Beragam gadget itu diciptakan dengan konsep untuk membawa kantor ke mana saja, dan memang alat-alat tersebut dilengkapi berbagai kemampuan untuk itu.

Namun, rupanya alam psikologi manusia tidak begitu saja diubah oleh teknologi. Bekerja, ya di kantor, mungkin itu bawah sadar yang banyak dibawa orang yang mungkin juga membawa ponsel pintar.

Bila hipermobilitas benar hanya mitos, berarti yang menang adalah style dan fashion.

Seni Rupa
"Sumeleh" dan "Gojekan" di Waktu Berlalu

Radhar Panca Dahana


Ini pengalaman kecil yang tersimpan dalam bayang, menguntit sepanjang kenang. Sebuah kontrakan sederhana di Cilandak, Jakarta Selatan. Seorang bocah es em pe, aku, dan lima orang seniman: tiga pelukis, satu pengarang, satu teaterawan.

Semua tertidur, malam gulita. Sekonyong seseorang berteriak, "Maling!" Semua manusia, yang kurus, gondrong, kucel, dan bermata riang itu, melompat, keluar dari kontrakan sederhana, hanya dengan satu ambin itu.

Tidak penting maling itu tertangkap atau tidak kemudian. Yang tertangkap sebenarnya adalah aku. Seorang pelarian dari rumah pensiunan kepala sekolah Taman Siswa yang menjadi pegawai negeri, kini berada dalam lingkaran seniman urban yang melihat Jakarta tumbuh seperti lahan ladang baru bagi padi yang mereka semai di tempat lahirnya semula.

Sebagai cecunguk yang dibidani dan disemai Jakarta, aku mendapatkan sebuah dunia yang sesungguhnya asing di antara mereka: seniman-seniman yang kala itu menggabungkan dirinya dalam Komunitas Garajas (akronim: Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, Bulungan).

Bersama mereka aku mengenali banyak hal yang tidak bakal kudapat dalam keluarga, juga dalam kesempatan hidup lainnya. Bagaimana dunia lokal yang begitu jauh dan terasa mati dalam tubuhku menjadi kecambah dalam alam intelektual, spiritual, bahkan penghayatan tubuhku.

Dan, begitulah Garajas yang kuketahui sejak mula. Sebuah dunia jauh yang datang untuk mengakrabi kota, urban, Jakarta, dengan kewajaran, pikiran sederhana, dan tubuh yang rileks. Jakarta bahkan menjadi permainan, menjadi game, bahkan lawakan segar di tengah impitan keras hidup mereka.

Sementara aku, yang meninggalkan rumah dengan sejumlah ide-ide "besar" yang menghuni kepalaku lewat berbagai buku, begitu tegang menghadapi semua. Alhasil, setiap hari, setiap waktu, kegiatanku hanya marah, marah dan marah. Kepada siapa saja, terutama "mereka" yang lebih tua, "orang tua". Dan, sahabat-sahabat Garajas hanya tersenyum, tertawa, nggojeki, saat aku merasa "mengalahkan" mereka dalam debat.

"Kamu tuma buku, textbook thinking," Komentar Muchlis. "Tingking trisna jalaran saka kulina," sambung Adri Darmaji Woko dalam plesetan.

Di gerbong belakang

Menjelang 19 tahun, aku tahu "kulina" itu. Aku tak memilikinya. Aku harus mengalaminya. Mengalaminya dengan rileks dan rendah hati, dengan gojekan dan komedi. Memahami hidup bukan hanya dalam pemaknaan rasional dan leksikal, tetapi juga dengan penghayatan fisikal dan spiritual. Tak perlu berlebihan. Apa yang kau miliki dan daya gunakan, itulah dasar apa yang akan kau dapatkan.

Dengan itu aku memahami karya-karya mereka. Termasuk para pelukisnya, yang mengisi sebagian besar keanggotaan dari Garajas, satu di antara komunitas awal di Bulungan. Hampir semua memiliki gaya dan bentuk kreatifnya sendiri, yang dapat dikatakan "klasik".

Bentuk-bentuk ilustratif, figuratif, realis, naturalis, atau simbolis beberapa menjadi panorama utama. Mungkin disebabkan kebutuhan awal mereka untuk mengisi kolom-kolom ilustrasi di berbagai media, sebagai modus pemenuhan ekonomi.

Dan, mereka merasa enyak, gembira, bahkan aktual dengan itu. Tidak ada pretensi berlebih yang melampaui bekal tradisi mereka sendiri: semeleh! Karena itu, ketika dunia lukis dan rupa berkembang pesat pada tahun dan dekade sesudahnya, para pelukis itu pun seperti penumpang yang tidak pernah kebagian bangku di kelas bisnis, apalagi eksekutif. Namun, sungguh, mereka tidak keberatan di gerbong belakang, ekonomi, main gaple, beli nasi bungkus, kopi tubruk atau teh poci dan segalau dua galau gojekan lama.

Ketika 2007 ini, entah lantaran badai atau kemajuan adab yang mana, sekonyong gerbong belakang itu hendak maju ke muka, delapan pelukis Garajas memaklumatkan diri dalam sebuah pameran bersama, sepanjang 16-24 Juni, di Galeri Kita, Bandung. Saya merasakan itu bukan sekadar angin yang berembus lembut dari belakang. Akan tetapi, juga daya hidup yang selama ini saya salah mengira luput dari kerumunan tradisi dan klasisisme atau kelokalan mereka.

Tampak dalam sedikit karya Kamso Kholiban, pejuang tangguh, dengan garis yang tekun, sedisiplin ia menghayati obyeknya; dari tokoh pewayangan hingga buah yang ranum dengan seluruh detailnya (Burung dan Bunga). Semua mencipta universum, universum "Jawa" dengan kerumitan teks yang ada di dalamnya.

Beberapa karya Q’bro Pandamprana, lelaki penuh santun dan kerendahhatian, yang tampaknya mencari aksentuasi lebih pada putih ketimbang kelebat hitam yang mencari-cari bentuk (Kalap dan Katanyua Cinta), seperti sebuah tradisi yang tak berhenti mencipta ruang dan mengaktualisasi waktu yang ada di dalamnya.

Atau Muchlis Sardjana, bergelut dengan dekorasi yang bermula ilustratif menjadi simbolik (Awas dan Godaan), seperti menyodorkan piring pemahaman yang lebih lapang dari sekadar pemaknaan anatomik. Ada ingatan purba di balik semua yang terlihat kasatmata.

Begitu pun Harisman, yang mencoba menguji publik dan dirinya sendiri: menyerap eksotika tubuh yang kerap membuat kita tak bisa membuat jarak dengannya. Realisme yang dihadirkannya menjadi senyum bidadari (Chinese Girl dan Japanese Girl) yang berusaha mengatakan, "hidup masih terlalu indah untuk bisa kita nikmati". Betapa pun, jebakan keindahan tetap saja menganga ketika ia membuat kita lupa.

Bergaya bianglala

Peringatan-peringatan semacam ini yang terasa di hampir keseluruhan pameran bergaya bianglala ini. Dengan gaya abstraknya, Nobon dan Taufan S Chandranegara melihat ruang kanvas sebagai penegas garis dan warna kegalauannya sendiri: kegalauan yang setia menguntit waktu. Nobon, yang juga insinyur sipil, membangun ruang lewat garis-garisnya yang kuat dan terlatih untuk memberi kita dinamika garis yang kukuh justru dalam dunia yang mengoyak dan tak pasti.

Taufan, senioren Teater Koma, juga tak kenal letih menerbitkan taufan kegelisahan—bahkan bagi dirinya sendiri—dengan eksplorasi tiada henti dari kebasan-kebasan kuat warnanya. Paduan warnanya (Untitled I dan Untitled II) menggiring kita kepada kekuatan hati. Tepatnya, mengingatkan kita kepada kekuatan hati, yang senantiasa bergerak, maju, segalau apa pun di sekelilingnya.

Dalam arus serupa, dengan bentuk yang lebih surealistik, May Soebiakto serta Indra Kusuma ngelangut dalam suasana jiwa yang lebih kontemplatif. May alias Si Toto seperti menciptakan lubang-lubang yang menenggelamkan di perjalanan batin yang tak selesai (Masih Ada I dan Masih Ada III). Sementara Indra, dalam Perjalanan 1 dan 2 serta Rumah Batu-nya, memberi kita peringatan puncak pada aras kematian yang begitu kuat suasananya bicara: semacam tragik dari kekinian hidup kita saat ini.

Lalu dulu, lalu kini

Semua adalah jejak yang dalam, yang tak hanya membekas saat ini, tetapi juga mem-print out jejak baru; daya hidup yang banyak kita menyangkanya telah menjadi mumi. Bukan. Bukan zombie. Namun, manusia yang selalu teraktualisasi dan berkembang. Berkembang? Tentu saja. Kelokalan dan etnisitas kini tidak lagi bisa dianggap sesuatu yang sudah fixed, bahkan baku, beku, kaku, dan jumud. Ia terus memperbarui diri, menciptakan elastisitas tanpa kelembaman, mengadopsi semua yang datang dalam hidupnya, menjadikannya satu rekreasi yang segar dan berkarakter. Membuat tradisi selalu kontemporer.

Mungkin itu salah satu pesan kuat dari "Pameran Yes" ini. Bentuk dan gaya boleh jadi masih menerbitkan sesuatu yang berdiam lama. Namun, dalam isi serta misi mereka menunjukkan kedalaman sebuah penghayatan terhadap dunia baru, kekinian yang juga mereka alami.

Mereka mendaratkan konteksnya pada persoalan mutakhir. Memperlihatkan kematangan, bukan hanya dalam stroke (sapuan), penciptaan ruang, dan pengolahan warna, tetapi juga sublimasi dari makna benda dan suasana yang coba mereka hadirkan. Maka, dalam "masa lalu" yang hadir tanpa sengaja, dalam kontemplasi yang terhasil dengan sengaja, kita bukan hanya terhibur lantaran romantisme belaka. Akan tetapi, juga pemaknaan dari tubuh-jiwa yang rileks dan rendah hati menghadapi kompleksitas zaman yang tali-menali.

Radhar Panca Dahana Sastrawan

Tuesday, June 26, 2007

Etika Global
Individualitas Barat vs Komunalitas Timur

Pengantar
Marina Silvia Kesumastuti, mahasiswa Teknik Industri ITB mewakili Indonesia pada ajang The International Student Festival in Trondheim (ISFiT) di Norwegia, antara tanggal 16-25 Februari 2007. ISFiT merupakan festival pelajar/mahasiswa terbesar di dunia yang membahas berbagai tema, umumnya mengangkat masalah sosial dan politik global. Festival tersebut diikuti lebih dari 400 pelajar/mahasiswa berbagai negara. Untuk festival kali ini mengangkat tema ”Global Boundaries” (Batas-batas Global). Berikut ini beberapa tulisan yang dibuat Marina S.K. untuk ”PR”.
Redaksi

PARA pelajar yang mengikuti workshop pada ajang International Student Festival in Trondheim (ISFiT), Norwegia sibuk berdiskusi. Sebanyak 26 pelajar yang berasal dari lima benua, yaitu dari negara Belgia, Kanada, Rumania, Afrika Selatan, Bahrain, Indonesia, Tunisia, Brasil, Spanyol, Georgia, Uzbekistan, Austria, Inggris, Cina, Singapura, Turki, Italia, Rusia, dan Serbia, kini diharuskan bertukar pendapat tentang budaya masing-masing negaranya berkaitan dengan agama.

Budaya yang dimaksud kini adalah etika berpakaian dan partnership. Para pelajar mengungkapkan cara berpakaian religius di negara-negaranya. Pelajar dari Cina menjelaskan pakaian biksu-biksu Buddha, dan pelajar dari Kanada menjelaskan cara berpakaian pendeta.

Pelajar Kanada sempat mengutarakan pemahamannya tentang jilbab. Jilbab adalah bagian dari budaya patriarkal yang membuat para istri menjadi ’kepemilikan’ pria, dan semacam tekanan pada kaum wanita, karena belum tentu wanita yang bersangkutan menghendakinya.

”Tidak selalu seperti itu,” ungkap penulis, ”menutup fisik kurang lebih keinginan kita-kita juga.” Seperti yang pernah tertera dalam slogan ISFiT berkaitan dengan gender: Manakah yang sebetulnya lebih teropresi, wanita dengan rok mini ala cheerleader atau wanita dengan burqa (busana yang menutup seluruh tubuh, kecuali wajah yang bisa melihat dari balik cadar-red.)?

”Banyak wanita Muslim yang saya temui mengatakan bahwa mereka lebih nyaman menutup tubuh. Karena ketika berhadapan dengan pria, mereka merasa menjadi ’manusia’ yang didengar pikiran dan ide-idenya, daripada menjadi objek penglihatan yang dapat dilihat dari atas hingga bawah,” kata penulis.

”Saya tahu apa maksudmu tentang melihat wanita lebih pada fisiknya,” balas pelajar Kanada yang disertai tawa dalam ruang itu.

Muncul pertanyaan-pertanyaan berikutnya, seperti apakah bentuk penutup yang sebaiknya? Mengapa harus seperti jilbab di Arab? Bahkan mengapa pula harus ada penutup kepala, jika contohnya seorang reporter CNN yang cukup berpakaian tertutup pun sudah cukup ”dianggap”?

Diskusi beralih ke masalah partnership. Antusiasme beredar di seputar hukum Islam tentang pernikahan. Di beberapa negara Islam, seperti Turki dan Tunisia, pernikahan antaragama dibolehkan oleh negara, tetapi tidak di negara-negara Islam lain, seperti Bahrain dan Indonesia (yang sebetulnya bukan negara Islam).

Pelajar dari Bahrain kemudian menjelaskan bahwa seorang wanita Islam harus dinikahkan dengan pria Islam. Karena pria adalah kepala keluarga sehingga ia diharapkan dapat mewariskan pengetahuan agamanya kepada istrinya. Akan tetapi, kemudian pelajar-pelajar dari Eropa menantang, bahwa di negara mereka, rumah tangga tidak dikepalai suami ataupun istri, tapi keduanya. Bagaimana hukum yang bersangkutan masih relevan? Apalagi dengan persamaan gender yang kini makin merebak di seluruh dunia. Pria tidak lagi menjadi sumber pengetahuan karena wanita sekarang memiliki derajat pengetahuan sejajar, termasuk pengetahuan agama. Dialog terus berlanjut. Kami semua saling cerita akan tradisi agama di negara masing-masing. Semua berusaha mendengarkan dan memahami walaupun tidak selalu setuju oleh tradisi yang berbeda-beda tersebut.

Etika globalisasi

Tidak lama kemudian, diskusi terhenti oleh kuliah yang diberikan oleh seorang dosen filsafat The Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Prof. Bjorn Myskja, berjudul ”Religion and Universal Ethics”.

Ia memulai kuliah dengan satu slide bergambar simbol-simbol agama dunia. ”Agama adalah salah satu sumber etika dan moralitas dunia ini, yang bagi jutaan pengikutnya merupakan sumber etika yang terkuat dalam hidupnya. Masing-masing agama tersebut berbeda secara signifikan, seperti yang kita tahu,” paparnya.

Profesor Bjorn melanjutkan tampilan slidenya ke sebuah peristiwa yang sangat familier bagi banyak orang, dua pesawat menabrak gedung WTC di New York, AS. ”Nah.. kini, semua tradisi tersebut, termasuk non-tradisi (ateisme) yang banyak dianut Barat, terpaksa bersinggungan satu sama lain, sebagai efek globalisasi. Eropa dan Amerika menghadapi sebuah ’masalah’, arus imigrasi yang membeludak dari negara-negara dunia ketiga, yang masing-masing membawa tradisi dan budaya lokalnya. Semua etika dan moralitas yang berbeda secara signifikan tadi, suka tidak suka harus hidup bersama kini,” katanya lagi.

Hidup bersama pun tidak selalu harmonis. Samuel P. Huntington pada tahun 1993 melempar sebuah istilah ”clash of civilization”, yang menurut dia akan mendominasi layar globalisasi, seperti peristiwa WTC tadi. Walaupun banyak kritik dan revisi terhadap teorinya itu, persentuhan budaya yang dimaksudnya terus kita rasakan setiap hari. ”Yang paling sering terdengar,” lanjut Prof. Bjorn, ”Adalah individualitas Barat versus komunalitas Timur.” Di berbagai daerah, konflik pun masih sering didasari oleh prinsip budaya atau agama.

”Maka,” lanjut Prof. Bjorn, ”bagaimana caranya kita dapat hidup bersama dengan semua perbedaan etika dan moralitas itu?” Ia pun kemudian menampilkan sebuah slide, ”Relativisme?”

Para relativis menyatakan, kita tidak dapat menyalahkan atau membenarkan sebuah budaya karena kita semua berasal dari budaya dan agama yang berbeda-beda. Semuanya itu relatif. Wirch (1964) menyatakan, budaya itu seperti sebuah game. Kebenaran tergantung oleh aturan-aturan internal game itu sendiri. ”Kita tidak memiliki posisi yang independen dan netral dari mana kita dapat mengevaluasi dan menghakimi budaya lain sebagai benar atau salah.” Di luar penilaian semacam ’temperatur hari ini adalah 2�C’, tidak ada penilaian yang dapat dibenarkan secara universal.

Masalah yang muncul dengan penerapan filsafat semacam ini, jelas Prof. Bjorn, adalah kecenderungan untuk tidak menganggap serius budaya lain. ”Wajar saja anak kecil berlaku seperti itu, namanya juga anak kecil.” Sehingga menjadi potensi konflik selanjutnya.

Bagaimanapun, sebuah masyarakat yang multikultural membutuhkan satu standar moral. Kita tidak dapat lagi berbicara mengenai bangsa Jerman yang hidup terpisah dengan bangsa Turki, sehingga nilai-nilai budaya Turki dapat dibiarkan terpisah dari nilai-nilai budaya Jerman. Menyatakan standar moral ”netral”, artinya menerima praktik-praktik yang kontroversial dari satu pihak. Misalnya, masyarakat Inggris harus menerima praktik arranged marriage dari sebuah keluarga India, walaupun anak yang bersangkutan tidak menyetujuinya. Di lain pihak, jika masyarakat Inggris memaksakan HAM kepada seluruh keluarga di Inggris, yang dengan kata lain melarang praktik arranged-marriage, maka keluarga India tadi akan merasa budayanya terjajah di sana.

Oleh karena itu, menurut Profesor Bjorn, disarankan sebuah alternatif lain: menemukan titik temu dari budaya-budaya tersebut. ”Titik temu itu harus ditemukan, tidak bisa ada nilai sendiri-sendiri karena ia akan diimplementasikan pada keseluruhan.”

Permasalahannya kini, bagaimana mendefinisikan titik temu tersebut? Bagaimana membuat seluruh lapisan dan budaya setuju akan sebuah standar moral bersama?

Satu alternatif yang memungkinkan, adalah bahwa standar moral tersebut harus merupakan minimum core, sesuatu yang dapat ditemukan pada semua budaya yang bersangkutan. Contohnya, prinsip keadilan berdasarkan treat cases as like (individu mendapatkan apa yang telah dikerjakannya, bukan berdasarkan identitas inheren tertentu). Alternatif lain yang mungkin adalah deklarasi hak asasi manusia, tetapi seringkali hak asasi manusia juga dinilai sebagai produk Barat yang mengancam budaya-budaya Timur. Prof. Bjorn menyatakan, bahwa hak asasi manusia bagaimanapun tetap harus diutamakan karena paling menguntungkan bagi semua. Akan tetapi, ia tidak menutup kemungkinan adanya adaptasi terhadap budaya-budaya Timur demi mencapai sebuah titik temu. Individualitas Barat harus mulai memikirkan reconnection dengan nilai-nilai sosial dasar masyarakat. Begitu pula budaya Timur pun harus mulai membuka diri pada hak-hak individu.

Permainan pertama

Itu adalah teori-teori etika yang idealnya muncul dalam arena globalisasi. Kini permasalahannya adalah, mungkinkah itu benar-benar terjadi? Dapatkah seluruh dunia benar-benar mencapai persetujuan akan suatu tatanan nilai bersama?

Diadakan eksperimen untuk melihat kemungkinan itu. Eksperimen pertama, kami dibagi menjadi tiga kelompok dan ditunjukkan sebuah daftar sumber etika di layar depan kelas. Tugas kami semua, adalah memilih dari banyak sumber etika (organisasi) tersebut, lima sumber etika yang pantas dijadikan sumber nilai yang akan diimplementasikan di seluruh dunia.

Bermacam-macam sumber etika ada di sana, dari PBB, Greenpeace, hingga kitab-kitab suci agama. Ketiga kelompok itu pun berdiskusi, masing-masing terdiri dari orang-orang dari latar belakang yang sangat berbeda.

Dari kelompok penulis, tercapai sebuah kesepakatan bahwa lima sumber nilai yang dipilih harus mewakili lima aspek yang paling berpengaruh dalam kehidupan internasional saat ini: ekonomi, politik, hak asasi manusia, lingkungan, dan agama.

Setelah melalui perdebatan, akhirnya diputuskan, untuk bidang ekonomi kami memilih Uni Eropa. Pilihan itu karena kami anggap EU merupakan sistem ekonomi yang paling maju di seluruh dunia saat ini, sehingga kami berharap sistem serupa dapat menular ke sistem ekonomi area lainnya.

Untuk bidang politik, kami memilih PBB, karena bagaimanapun PBB masih merupakan organisasi politik yang paling mendunia, sehingga dapat mencakup aspirasi banyak bangsa. Untuk bidang hak asasi manusia, kami memilih Amnesti International sebagai organisasi yang mendunia, sehingga dapat menampung aspirasi banyak orang.

Untuk bidang lingkungan, kami memilih Greenpeace, juga untuk alasan yang sama. Untuk bidang agama, kami memilih Red Kristal, karena merupakan sebuah contoh bagaimana dua organisasi yang didasari atas dua ajaran agama: Red Cross (Palang Merah) dan Red Crescent (Bulan Sabit Merah) dapat berasimilasi dan bekerja sama dengan baik, atas nama kemanusiaan.

Kedua kelompok lainnya mempresentasikan pilihan mereka. Kebanyakan organisasi yang dipilih sama: organisasi yang paling dapat mencakup aspirasi banyak orang dari seluruh dunia dalam kelima aspek yang paling berpengaruh bagi dunia saat ini. Perbedaan yang sempat muncul adalah, apakah bidang agama seharusnya direpresentasikan atau tidak.

Satu kelompok memilih mengosongkan sumber etika bagi aspek agama, karena memilih satu sumber etika bagi agama seperti menciptakan ’agama baru’ bagi seluruh dunia. Seorang workshop leader kemudian menambahkan, bahwa telah ada forum yang bukan merupakan organisasi, tapi lebih merupakan ’ruang’ di mana tokoh-tokoh agama dapat berkumpul dan berdialog: World Religion Kongres, yang disambut baik oleh semua anggota workshop.

Permainan kedua

Kami dibagi menjadi empat kelompok dan diminta untuk menjatuhkan hukuman sebagai juri kepada seorang penjahat perang internasional. Kasusnya, secara singkat adalah pembantaian kepada 8.000 orang beretnis sama (genocide). Setelah melalui berbagai perdebatan dalam kelompok masing-masing, keempat kelompok secara serempak menyatakan bahwa hukuman yang akan dijatuhi adalah penjara seumur hidup, bukan hukuman mati, walaupun sebelumnya beberapa orang lebih menyetujui hukuman mati. Persetujuan dicapai setelah mempertimbangkan bahwa hukuman mati sebetulnya tidak menyelesaikan apa pun (tidak pernah ada bukti bahwa tingkat kejahatan menurun jika hukuman mati diberlakukan dalam sebuah negara), dan bahwa seorang penjahat jika tetap hidup dapat lebih dijadikan pelajaran bagi dunia luar daripada jika dia mati.

Perbedaan kemudian lebih mengenai bagaimana perlakuan yang akan dilalui dalam penjara. Isolasi total, pemberian pekerjaan, atau kewajiban kompensasi bagi keluarga yang ditinggalkan 8.000 orang korban tadi?

Empat kelompok lagi-lagi diminta untuk memilih kalimat yang dapat dijadikan pernyataan nilai yang dapat diberlakukan di seluruh dunia. Protes terdengar ketika kami melihat daftar statement yang tersedia, ”Kalimat-kalimatnya terdengar sama semua!”

Di akhir eksperimen, kalimat-kalimat yang dipilih keempat kelompok relatif berbeda, walaupun terdapat beberapa kalimat yang paling banyak dipilih: right to marriage (termasuk lintas ras, bangsa, dan agama), right to freedom of speech, dan ”cintailah tetanggamu sebagaimana kamu mencintai diri sendiri.”

Para leader meminta kami untuk menebak asal kalimat-kalimat itu. Para pelajar dalam workshop ”Religion in A Changing World” itu pun kemudian sedikit terkesima, menyadari kalimat-kalimat yang terdengar sama semua itu, berasal dari lima sumber yang ’berbeda’: deklarasi hak asasi manusia, Injil, Taurat, Quran, Upanishad, dan Sutra Buddha. (Marina Silvia K.)***

Jangan Kuper, Berpikirlah Cara ASEAN

Julius Pour

Sebuah kalimat bersayap menyebutkan, "dua gajah berlaga, pelanduk mati di tengah". Dua gajah tersebut sekarang ini adalah China dan India, sedangkan pelanduknya adalah negara-negara ASEAN. Bahwa dua gajah tersebut sedang dan nantinya terus berlaga, sudah bisa dipastikan. Tetapi, apakah si pelanduk, ASEAN, harus mati terimpit ketika dua raksasa ekonomi baru dunia tersebut sedang sibuk berlaga?

Tentu saja terserah kepada ASEAN sendiri. Mereka ingin mati konyol atau justru dengan cerdik mampu memainkan daya saing berikut potensinya sehingga berhasil mencuri peluang. Maka, mari Think ASEAN, berpikirlah secara ASEAN. Jangan hanya berpikiran sempit, kuper, kurang pergaulan, dan malah sibuk memikirkan diri sendiri, negara per negara. Sekarang harus sudah berani berpikir secara regional dan itu maknanya, tidak bisa lain, himpun kekuatan ASEAN.

Buku karya bersama Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, dan Hooi Den Huan, tiga pakar marketing dari AS, Indonesia, dan Singapura, mengajak kita merenung sekaligus memahami, potensi ASEAN sebenarnya besar sekali. Maka, justru inilah hal pertama yang harus dimainkan, khususnya sebagai tindak lanjut dari kesepakatan bersama dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN di Cebu, Filipina, awal tahun 2007, keinginan untuk membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015.

Globalisasi, resep terbaik?

Globalisasi memang sudah pernah menjadi kata kunci sebagai upaya untuk meraih kemakmuran dunia. Gagasan tersebut berawal tahun 1400-an, ketika Cheng Ho berlayar dari daratan China menuju Nan Yang, Laut Selatan, dan ternyata membawanya sampai ke Afrika. Hampir berbareng, tetapi berlawanan arah, dengan pelayaran Christopher Columbus ketika meninggalkan Spanyol untuk menemukan dunia baru di arah barat, Amerika, yang awalnya tidak pernah dia bayangkan. Gelombang pertama globalisasi telah mengubah peta ekonomi dunia dan menentukan cakrawala baru.

Disusul gelombang kedua globalisasi, dimulai 400 tahun sesudah gelombang pertama, dengan penemuan mesin uap yang segera memicu industrialisasi berikut segala macam cara untuk menyamankan kehidupan masyarakat di bagian dunia tertentu, tetapi menyulut ekses di bagian dunia lain, berikut melahirkan sistem kolonialisme dengan segala deritanya.

Akhirnya, muncul gelombang pasang ketiga globalisasi. Setelah Perang Dunia II selesai, dilanjutkan dengan Perang Dingin dan ditemukannya internet. Ketika kekuasaan ekonomi berikut bisnis tidak lagi mengindahkan batas negara sehingga negara kecil dengan potensi raksasa bisa mempunyai kekuatan tampil ke depan. Tercermin ketika Dubai akan mengelola pelabuhan di Amerika Serikat yang segera memicu protes keras. Juga tampak setelah Temasek dari Singapura menguasai Shin Corp di Thailand dan menyeret lengsernya kekuasaan pemerintahan Thaksin Shinawatra.

Beragam pengalaman buruk dengan globalisasi sudah diingatkan Alan Rugman tahun 2000 melalui buku The End of Globalization. Dengan sinis dia melukiskan, globalisasi tidak lebih dari mitos. Bahkan, pasar bersama hanya impian yang tidak pernah bakal bisa terwujudkan. Sesudah globalisasi ternyata bukan resep tuntas yang sanggup menyembuhkan penyakit ekonomi dunia, kini masyarakat disadarkan oleh kehadiran potensi baru, dikenal dalam istilah regionalisasi.

Keperkasaan Uni Eropa

Bulan lalu masyarakat dunia telah menyaksikan pesona 50 tahun keperkasaan ekonomi Uni Eropa. Tumbuhnya sebuah kekuatan regional baru, yang dulu belum terbayangkan. Kesatuan dari beragam negara dengan sistem politik berbeda dan suku bangsa berbeda, tetapi telah melahirkan kekuatan ekonomi sangat mengesankan.

Uni Eropa memang kisah sukses. Bagaimana negara di daratan Eropa menyatu dengan mewujudkan satu pasar bersama, satu mata uang, satu bank sentral, dan praktis telah bisa meniadakan batas antarnegara dalam kawasan bersama, Uni Eropa. Apakah ASEAN akan bisa mengikuti jejak tersebut?

ASEAN dilahirkan tahun 1967 dari kesepakatan Bangkok, diawali dengan lima negara anggota, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Dalam perjalanan waktu, ASEAN berkembang menjadi 10 negara anggota.

Dilengkapi dengan kenyataan yang malah sering dilupakan, bahwa ASEAN mencakup kawasan seluas 4.480.000 km>sup<2>res<>res<>

Pada sisi lain, ketika globalisasi sudah tidak memikat dan sengaja atau tidak bahkan mendorong kebangkrutan ekonomi sejumlah negara, maka muncul pertanyaan sangat mendasar, apakah ASEAN tetap ingin berkutat dalam paradigma lama, terbatas berkiprah dalam masalah keamanan dan politik? Ataukah mereka juga bersedia untuk semakin membuka diri dengan menyatukan langkah dan tekad untuk bisa membangun sebuah kawasan yang benar-benar menyatu agar bisa membuka alternatif baru dengan memanfaatkan peluang dari berlaganya China dan India?

Jangan sampai dilibas

Dilihat dari standar dunia, setiap negara di ASEAN secara sendiri-sendiri akan selalu lemah, tidak punya daya saing, dan dengan mudah malah bakal dilibas kekuatan ekonomi dunia. Semua produknya tidak akan pernah bakal bisa kompetitif akibat keragaman pendapatan nasional tiap-tiap negara, perbedaan bahasa dan juga latar belakang budayanya. Sementara di pihak lain, sumber bahan mentah, kondisi makroekonomi, sekaligus kestabilan politik dan besarnya jumlah penduduk justru akan merupakan daya tarik tersendiri untuk bisa memikat datangnya investasi dari negara-negara lain.

Oleh karena itu, jika kekuatan berikut kelemahan ASEAN seperti disebutkan di depan sudah bisa disadari, maka peluang untuk bisa menyatukan langkah sudah terbuka. Pada satu sisi membuka kesempatan untuk mulai melahirkan proyek bersama antar-ASEAN. Dan yang juga tidak boleh dikesampingkan, terbukanya peluang bagi sektor bisnis swasta, selaku penyumbang terbesar atas produk domestik bruto ASEAN, bisa merintis kerja sama antarnegara tetangga.

Memang amukan bencana tahun 1997, yang terkenal dalam istilah krisis ekonomi Asia, mungkin telah menciutkan nyali dan bagaikan hantu, untuk sejumlah negara tertentu masih menakutkan. Namun, dalam perjalanan waktu menunjukkan bahwa semakin lama rasa percaya diri ASEAN sudah mulai bangkit kembali. Hal tersebut tampak dari dampak keberhasilan upaya mewujudkan ASEAN tumbuh menjadi kawasan paling potensial di seluruh Asia Pasifik.

Sejauh ini kebijakan bersama yang disepakati adalah terwujudnya gagasan Masyarakat Ekonomi Bersama ASEAN pada tahun 2015 atau lima tahun maju dari rencana awal. Tiga tiang utama bakal jadi penunjangnya: ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Gagasan untuk mewujudkan satu masyarakat ASEAN tersebut mau tidak mengharuskan ke-10 negara ASEAN bergandengan tangan dan bantu-membantu.

Tentu saja tekad untuk mewujudkan ASEAN sebagai satu kawasan yang nantinya tanpa batas antarnegara menimbulkan beragam implikasi, khususnya untuk pelaku bisnis yang sudah terbiasa menjadi pemain lokal atau "jago kandang". Mereka tidak hanya akan bertarung dengan sesama pemain lokal, tetapi juga langsung ditambah dengan masuknya pelaku bisnis dari negara tetangga dan perusahaan multinasional yang memang tidak pernah kenal batas negara. Mampukah mereka? Tidak ada lagi kata lain, harus mampu.

Dadu sudah telanjur dilemparkan sehingga mau tidak mau, cepat atau lambat, siap atau tidak, ditunggu atau ditolak, tahun 2015 tidak lama lagi akan tetap datang dan ASEAN Community bakal terwujudkan. Begitu tantangan sekaligus nasihat paling bermakna yang telah dikemukakan dalam buku menarik ini.

Apakah ASEAN sanggup memanfaatkan potensi berikut kelebihannya dan berhasil mencuri peluang? Ataukah, seperti isyarat dalam kalimat bersayap pada awal tulisan, pelanduk yang menurut kodratnya cerdik malah harus mati terimpit di tengah?

Dan, nantinya ASEAN bakal segera hilang begitu saja dari catatan sejarah. Sesuatu yang seyogianya memang harus dihindarkan.

Julius Pour Wartawan; Tinggal di Jakarta

"E-mail" Dijual!

Sering kali kita malu kalau melihat perkembangan teknologi komunikasi informasi di Tanah Air. Ternyata orang asing lebih tanggap dalam upayanya meningkatkan kemampuan kita untuk "melek" teknologi informasi.

Sampai saat ini kita tidak melihat secara jelas dan nyata rencana untuk mengembangkan teknologi komunikasi informasi. Kita sering kali meributkan hal yang tidak esensial sehingga sering kali lupa bahwa penguasaan teknologi komunikasi informasi sebenarnya merupakan sebuah proses berkelanjutan yang harus dilalui langkah demi langkah.

Itu sebabnya perlu sebuah cetak biru pengembangan teknologi komunikasi informasi di republik ini. Supaya pemanfaatan dan gelar teknologi komunikasi informasi mampu memberikan arti bagi bangsa dan negara.

Sebuah e-mail belum lama ini dikirim seorang kawan, menggambarkan situasi pemahaman teknologi komunikasi informasi dan mencerminkan betapa gaptek (gagap teknologi)-nya sebagian besar rakyat dan bangsa ini.

E-mail ini berupa sebuah berita yang muncul di daerah Kalimantan, menyangkut pemahaman anggota parlemen daerah tentang kemajuan teknologi komunikasi informasi. Ketika sang anggota dewan terhormat ditanya apakah memiliki e-mail, jawabannya mantap, "Saya pernah punya, tapi sudah dijual."

Anggota dewan terhormat lainnya malah mengatakan begini, "Secara pribadi saya belum memilikinya. Bukannya saya tidak mampu untuk memilikinya, tetapi saya masih cinta produk dalam negeri." Inilah situasi kemajuan teknologi komunikasi informasi di negeri tercinta ini.

Berbagai ironi kemajuan teknologi komunikasi informasi akan kita temui di mana-mana, di departemen, di sekolah, bahkan di lingkungan tentara yang seharusnya akrab dengan kemajuan teknologi.

Bayangkan apa yang terjadi seandainya ada ancaman teror melalui e-mail, sedangkan unit-unit yang menangani dan menanggulangi keamanan dan ketertiban tidak menggunakan e-mail. Sementara, kita mengetahui dari berbagai pemberitaan bahwa para teroris sekarang berkomunikasi menggunakan e-mail memanfaatkan warnet yang tersebar di mana-mana.

Pemerintah sepertinya tidak menyadari manfaat kemajuan teknologi komunikasi informasi. Dewan Teknologi Komunikasi Informasi Nasional pun sibuk sendiri dengan urusan yang tidak esensial daripada mencari berbagai peluang untuk menguasai kemajuan teknologi.

Kita sibuk masing-masing dengan urusan sendiri, membiarkan ironi demi ironi terus berkembang tidak beraturan. Kita selalu bereaksi terhadap sesuatu yang sudah terjadi, tanpa mampu berbenah diri. Sepertinya pergantian kabinet yang diributkan perlu mencari orang-orang "melek teknologi". Tidak perlu yang canggih, tapi cukup yang mampu untuk membalas e-mail.

Inspirasi Kaleidoskopis Jakarta

ACHMAD SUNJAYADI

F de Haan pernah sesumbar bahwa ia telah meneliti Batavia sampai ke akar-akarnya. "Si Jago", demikian julukan arsiparis-peneliti ini, mengatakan Batavia telah ditelitinya seperti ia memeras sebuah jeruk segar hingga kering. Tak tersisa setetes pun.

Sesumbar De Haan ada benarnya karena, bila kita membaca buku ini, hampir sebagian besar para penulis artikel menggunakan De Haan sebagai sumber. Namun, De Haan melupakan satu hal, membicarakan Batavia atau Jakarta sekarang, tak akan ada habisnya. Buktinya, hampir setiap tahun persoalan yang dihadapi kota yang dahulu bergelar "Ratu dari Timur" itu beraneka ragam.

Menariknya, segala macam persoalan itu berakar dari berbagai masalah yang nyaris sama pada masa lalu. Sebut saja aspek demografi, morfologi perkotaan, lingkungan hidup, lalu lintas, hingga banjir. Dalam konteks itulah, buku Jakarta Batavia: Esai Sosio-Kultural layak dibaca, khususnya bagi bakal gubernur, penduduk, serta pendatang DKI Jakarta.

Buku yang membahas Jakarta ini merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh para ahli berbagai latar belakang disiplin ilmu dari luar maupun dalam negeri. Mulai dari sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, linguistik, arsitektur, bahkan sastra. Suatu pendekatan yang semestinya juga dilakukan oleh para pengelola serta aparatur ibu kota negara ini yang memiliki beragam masalah.

Titik tolak yang digunakan buku ini bukan berdasarkan tematis, tapi kronologis. Yang merentang dari masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), abad ke-19, periode akhir masa kolonial hingga periode modern pascakemerdekaan.

Simak saja uraian Blussé membahas ritual diplomatik internasional pada periode awal Batavia. Ia menuturkan bagaimana para pejabat VOC harus mempelajari etiket dan protokol diplomatik. Berbagai upacara penyambutan, seperti tur dengan kereta kuda, defile pasukan bertombak, tembakan salvo hingga diisapnya sebatang pipa cangklong, harus diketahui oleh pejabat VOC.

Lalu ia membandingkan dengan penyambutan tamu negara masa kini. Melesat dengan kecepatan penuh dari bandara ke penginapan mereka, didahului dan diikuti rombongan polisi militer dengan raungan sirine dan lampu menyala-nyala. Tanpa memberi kesempatan kepada penduduk Jakarta untuk ber- tatapan dengan tamu pembesar asing itu (hal 36).

Masalah kesehatan serta nyamuk yang hingga sekarang juga menjadi masalah serius Jakarta ternyata juga merupakan persoalan pada masa lalu. Ironisnya, hal itu seolah menjadi persoalan yang tak kunjung padam. Masalah kesehatan pada masa VOC inilah yang dibahas lugas oleh Van der Brug.

Rumah sakit kompeni yang seharusnya membuat pasien menjadi sehat justru semakin membuat pasien sakit bahkan meninggal. Para pegawai senior VOC, kalau masih menyayangi nyawa, disarankan untuk dirawat di rumah saja daripada dirawat di rumah sakit yang jorok, kotor, penuh sesak (hal 51). Bagaimana pula dengan pelayanan rumah sakit pada masa kini?

Menurut penduduk, penyakit mereka berasal dari "uap jahat" yang ditengarai karena pendangkalan pantai yang dipenuhi sampah, bangkai ikan busuk. Tidak hanya itu, kanal yang tercemar, kuburan di halaman gereja, kualitas air, penebangan hutan, penggalian saluran air di sekitar kota hingga pencemaran Sungai Ciliwung karena adanya pabrik gula dituding sebagai biang kerok penyakit ganas di Batavia (hal 52).

Pakaian antinyamuk

Nyamuk pun jadi sasaran kambing hitam. Bila masa kini yang ditakuti nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti), pada masa VOC nyamuk malaria (Anopheles sundaicus) jadi momok menakutkan. Begitu berbahayanya hingga pada masa VOC orang mengenakan "pakaian antinyamuk" khusus. Dalam berbagai pesta makan malam adalah hal biasa setiap tamu mempunyai seorang pelayan pribadi yang bertugas mengusir nyamuk dengan kipas besar (hal 64).

Ketidaksehatan Batavia ini sangat terkenal hingga seluruh Eropa. Ketika Raffles yang menjabat letnan gubernur Jawa kembali ke Inggris pada 1816, ia ditugaskan ke St Helena menemui Napoleon. Pertanyaan pertama Napoleon, apakah Batavia masih tidak sehat? Ketika itu memang Raffles sedang menderita malaria-cachexie dan tampak kurus (hal 73).

Masalah keamanan wilayah Ommelanden (di sekitar) Batavia menjadi perhatian Remco Raben. Persoalannya adalah konflik antarkomunitas. Pada 1686, ketika sebuah gardu jaga di kota diserang bandit-bandit Bali, VOC memutuskan mengeluarkan peraturan rinci mencakup semua komunitas di Ommelanden.

Diangkatlah para kepala kampung dengan pangkat kapten. Mereka diberi imbalan tanah untuk diri mereka serta para pengikutnya. Dengan cara ini diharapkan berbagai komunitas dijauhkan dari dalam kota (hal 104). Salah satu contoh adalah Kapten Jonker yang memiliki tanah di dekat Sungai Marunda.

Bicara ’kepala kampung’, Mona Lohanda dalam artikelnya menyebutkan, kepala kampung pertama yang diangkat pada 1620 adalah kepala kampung China, Kapitan China.

Berbeda dengan pengangkatan kapten China pertama yang tercatat dalam Resolutien van ’t Casteel Batavia pada 11 Oktober 1620, VOC justru tidak memberi perhatian pada pengangkatan Inlandsche Kommandanten yang berasal dari berbagai ’suku’ ini. Antara lain, Kommandant der Boegineezen en Makassaren (Bugis dan Makkasar), der Amboneezen en Boetonders (Ambon dan Buton).

Betawi Asli

Apakah kaum bangsawan dikenal dalam masyarakat Betawi? Pertanyaan inilah yang mendasari Yasmine Shahab dalam membahas pembentukan elite Betawi yang berpangkal pada sejarah prakolonial.

Dalam artikelnya Yasmin menampilkan sebuah perhimpunan bernama Al Fatawi Mangkudat yang menyatakan diri sebagai representasi aristokrasi lama Jayakarta pra-Batavia sehingga memberi para anggotanya hak untuk dianggap sebagai BA alias orang Betawi Asli (hal 213).

Karya sastra ternyata dapat juga dimanfaatkan untuk mengetahui kondisi masa lalu. Seperti artikel Gerard Termorshuizen yang menggunakan novel-novel PA Daum dalam mengungkapkan kehidupan kolonial di Batavia. Mulai dari gambaran kedudukan sosial, hobi pamer, kehidupan religius, hiburan dan kebudayaan, kaum Indo rendahan dan nyai hingga kaum pribumi miskin yang tertindas. Di sini tampak bahwa karya sastra terkadang bisa memunculkan gambaran lebih jelas tentang sebuah masyarakat ketimbang satu rak sarat naskah sejarah yang formal dan kaku.

Sementara itu, Huub de Jonge memusatkan perhatian pada orang Arab di Batavia. Kelompok etnis yang relatif kurang mendapat perhatian. Padahal, komunitas Arab di Batavia adalah komunitas Arab terbesar kedua setelah komunitas Arab di Surabaya. Ia membahas sejarah komunitas Arab di Batavia, ketegangan dan konflik dalam komunitas tersebut.

Susan Blackburn dalam artikelnya menyoroti persoalan hak pilih perempuan dan posisi perempuan di Batavia yang tampaknya merupakan persoalan rumit. Ia mengungkapkan sulitnya kerja sama antara kaum perempuan pribumi, Tionghoa, Belanda, dan Indo. Hal yang khusus dibahas adalah cabang Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (Perhimpunan Pemilih Perempuan) di Batavia yang belum pernah dikaji sebelumnya.

Gang TSS

Nama-nama tempat di JA[DE]BOTABEK merupakan hasil penelitian memikat Kees Grijns yang menandai memori kolektif dan historis komunitas urban. Ia mengungkapkan berbagai nama jalan di Jakarta yang masih menunjukkan karakter asli pedesaan tempat itu, misalnya Kebon Sirih, Kebon Jeruk, atau Kebon Kopi.

Begitu pula nama jalan dengan nama haji tertentu yang menunjukkan kentalnya ikatan emosional orang Batavia dengan Islam tradisional. Namun, tahukah kita ada gang yang diberi nama ’Gang TSS’? Ternyata merupakan singkatan ’Tolong Sakit Sengsara’ dan penghormatan terhadap seorang dokter Jawa yang membantu penduduk semasa penjajahan Jepang (hal 230).

Topik pelestarian alam di kawasan metropolitan Jakarta digarap Luc Nagtegaal dan Peter JM Nas. Mereka memaparkan kondisi kawasan hijau dari tipe-tipe yang berbeda, seperti taman, tanah kosong, taman milik pribadi, lapangan terbang, tanah makam, padang golf, lahan pertanian serta daerah resapan air. Mereka merumuskan pula sebuah teori tentang distribusi spasial kawasan hijau kota.

Artikel menarik lainnya adalah pandangan dari ’atas’, yaitu kebijakan para pemimpin Jakarta dari masa ke masa karya Peter JM Nas dan Manasse Malo. Mereka menelaah kebijakan tersebut dengan menganalisis riwayat para wali kota dan gubernur pascaperang. Mulai dari Wali Kota Suwirjo hingga Gubernur Wiyogo (1945-1992).

Dengan kata lain gubernur, petinggi dan penduduk DKI Jakarta boleh saja silih berganti tapi persoalan yang dihadapi nyaris sama, berulang dan bahkan kian beragam.

Kekurangan buku ini (mungkin) kekurangjelian penyunting terjemahan pada halaman 1. Di sana tertulis tahun terbitan buku Oud Batavia karya si Jago, F de Haan 1992 seharusnya adalah 1922, seperti yang tercantum pada buku aslinya.

Secara umum buku yang dilengkapi peta, tabel, dan ilustrasi ini cukup menarik dan memberikan inspirasi bagi pakar sejarah, antropologi, sosiologi, tata kota, khususnya jajaran petinggi DKI Jakarta. Begitu pula para pembaca awam yang ingin mengetahui lebih banyak tentang gambaran persoalan ibu kota Negara Indonesia yang tak ada habisnya, kurang lebih bisa terpuaskan.

Achmad Sunjayadi Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan Erasmus Taalcentrum Jakarta