Monday, June 25, 2007

Peninggalan yang Terabaikan

Keraton Jogja

Keraton Yogyakarta memiliki kekayaan peninggalan masa lalu yang tak terhitung banyaknya. Peninggalan tersebut kini tak hanya dimiliki oleh Keraton Yogyakarta, tetapi juga ada yang menjadi hak pribadi para pangeran, antara lain berupa ndalem atau rumah tradisional bangsawan Jawa.

Tiap ndalem memiliki masa keemasannya sendiri. Seiring berjalannya waktu, kejayaan tersebut mulai pupus dan hanya menyisakan bangunan kuno tidak terawat. Beberapa ndalem bahkan seperti menunggu waktu untuk menjadi puing. Namun, oleh warga sekitar, tiap ndalem tersebut tetap dihormati sebagai bangunan bertuah.

Meskipun setiap ndalem mempunyai sejarah yang terkait erat dengan Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengaku telah menyerahkan tanggung jawab pemeliharaan sepenuhnya kepada setiap pangeran. "Kalau rusak, ya, menjadi tanggung jawab yang menempati. Yang menempati itulah yang harus mau merawat," tambah Sultan HB X, Jumat (8/6).

Padahal, tiap ndalem terkendala masalah pendanaan dalam perawatannya. Tak heran, keputusasaan selalu melingkupi Acun Hadiwidjojo tiap kali memandang ke arah Ndalem Notoprajan. Sebagai salah seorang ahli waris, dia berharap peninggalan leluhurnya tersebut bisa terus berdiri sebagai saksi sejarah.

Akan tetapi, saat ini, hanya tersisa bangunan tua tidak terawat yang tinggal menunggu waktu menuju kehancuran. Acun dan keluarganya mengaku tidak berani menempati ruang-ruang pada bangunan rumah joglo asli Yogyakarta tersebut. Alhasil, ndalem tersebut hanya dibiarkan terbengkalai, tanpa penghuni.

"Kami tidak layak menempatinya sebagaimana kekuatan spiritual yang terpancar dari bangunan tersebut. Makanya, kami serahkan kepada para putra Sultan yang lebih berhak, tetapi tak ada yang bersedia," ujar Acun, yang merupakan cucu dari Gusti Pangeran Notoprojo, akhir pekan lalu.

Sarat nilai

Padahal, bangunan yang didirikan oleh Gusti Pangeran Notoprojo sejak tahun 1823 tersebut sarat nilai sejarah. Sejak awal berdirinya, bangunan yang menempati lahan seluas 1,8 hektar itu sudah menjadi saksi perjuangan Pangeran Diponegoro. Notoprojo juga merupakan salah satu pejuang di zaman Nyi Ageng Serang pada tahun 1824-1835.

Bukti perjuangan tersebut masih tersisa dari bungker sepanjang 200 meter yang kini telah terkubur karena termakan usia. Di bungker itu pulalah para pejuang bersembunyi pada masa penjajahan dahulu.

Dalam perjalanannya, Ndalem Notoprajan pernah menjadi tempat kerja Sultan HB IX. Di ndalem tersebut, Sultan HB IX sempat mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Bahkan, di ndalem itu pula, mantan Presiden Soeharto juga pernah bertemu dengan Sultan HB IX sebelum Serangan Umum Satu Maret.

Di dalam rumah tersebut terdapat kamar khusus yang biasa dipakai Sultan HB IX beristirahat. "Kami dipesan oleh leluhur supaya tidak memakai kamar tersebut untuk tidur. Jika ada yang nekat, pasti tidak akan tenang," jelas Acun.

Kondisi Ndalem Notoprajan yang tanpa penghuni semakin diperparah oleh gempa yang melanda Yogyakarta setahun yang lalu. Gempa seperti menyisakan retak-retak di beberapa bagian dinding. Beberapa kayu penyangga juga lepas dari engselnya.

Sebelumnya, bangunan tersebut sempat dipergunakan untuk kantor bidang kesenian. Seiring era otonomi daerah, kantor tersebut ditutup dengan menyisakan tunggakan rekening listrik, telepon, hingga air yang sampai sekarang tidak dibayar senilai lebih dari Rp 10 juta.

Acun juga mengeluhkan tidak adanya perhatian dari pemerintah untuk perbaikan ndalem tersebut. Sebelumnya, pemerintah sempat menjanjikan akan memberikan bantuan untuk pelestarian cagar budaya, tetapi tidak pernah terealisasi.

Keterbatasan biaya

Dengan keterbatasan biaya, pemeliharaan hanya dilakukan seadanya. Bagian dalam ruangan dibersihkan tiap satu minggu sekali pada malam Jumat. Sementara peninggalan berupa penjaringan atau tempat tidur raja hanya dicuci tiap bulan Suro. "Penjaringan tersebut pernah ditawar Rp 350 juta, tetapi kami tak berani menjual," kata Acun.

Acun hanya berharap kerabat keraton berminat untuk mempergunakan salah satu warisan budaya tersebut sebagai museum atau tempat tinggal. "Biaya pemeliharaan kalau tidak dipakai sangat tinggi. Jika dipakai akan lebih terpelihara," ujarnya.

Sejauh ini pemeliharaan kebersihan diserahkan kepada warga magersari yang tinggal di sekeliling Ndalem Notoprajan. Ada 23 kepala keluarga magersari yang secara turun-temurun menempati tanah di sekitar ndalem tanpa membayar.

Hingga kini keaslian bentuk bangunan joglo tersebut masih terpelihara. Lengkap dengan tiap bagian, mulai dari pendopo, peringgitan, gadri, hingga dalem ageng. Di dalam dalem ageng ini masih terdapat penjaringan berlapis emas di beberapa bagian. Ornamen khas keraton, seperti candra sengkala, juga memperindah ruangan.

Total dana yang dibutuhkan untuk renovasi diperkirakan Rp 5 miliar. Pihak keluarga Notoprajan mencukupi biaya perawatan gedung itu dengan menyewakan halaman sebagai garasi mobil. "Jika terus dibiarkan, tinggal tunggu waktu sebelum benar-benar roboh," tegas Acun.

Yang lain-lain

Tak hanya Ndalem Notoprajan, beberapa peninggalan budaya lain juga mengalami nasib serupa. Joglo Ndalem Purbodirjan, misalnya, telah ambruk pascagempa. Hingga kini keraton belum merenovasi dan membiarkannya terbengkalai.

Meski telah roboh, tak seorang warga pun yang berani mengambil kayu-kayu dari puing reruntuhan. "Mereka yang mengambil pasti akan tertimpa sakit," ujar seorang ibu yang tinggal di samping Ndalem Purbodirjan.

Ndalem Kanoman yang merupakan peninggalan pemimpin Kadipaten Anom juga tidak terpelihara dengan baik. Bahkan, arsip dan dokumen seni peninggalan KRT Wiroguno sejak 1878 hingga 1936 dibiarkan teronggok di lantai. Lebih dari 1.200 judul dokumen notasi gamelan dan 2.000 arsip koleksi tersebut mulai rusak termakan usia.

Kerusakan makin parah karena enam lemari penyimpan rusak akibat gempa. Saat ini baru sekitar 100 dokumen yang mulai dikodifikasi berdasarkan tahun pembuatan dan jenis arsip. "Kami kesulitan, terutama untuk pendanaan," ujar ahli waris, RM Pramutomo.

Semasa hidupnya, Wiroguno merupakan salah satu empu karawitan gaya Yogyakarta Mataraman. Karyanya antara lain Gendhing Prabu Mataram dan Gendhing Tedhak Saking yang menjadi gending upacara audiensi dari Sultan Hamengku Buwono VIII hingga sekarang.

Koleksi Wiroguno tak hanya berupa arsip dan dokumen seni karawitan dan seni pertunjukan. Terdapat beberapa dokumen yang merupakan sumber informasi penting dari periode pemerintahan putra mahkota di era HB VII hingga HB IX, di antaranya pranata lampah-lampah upacara, surat dinas, hingga daftar gaji pegawai.

Semua dokumen dan peninggalan budaya tersebut sama sekali tak terawat. Secara wujud tiap benda tersebut memang telah termakan usia. Namun, bagi mereka yang berada di sekelilingnya, benda-benda tersebut tetap memiliki nilai magis yang tak lekang oleh waktu. Keindahannya pun kini hanya bisa dinikmati segelintir orang. Mereka percaya bahwa benda-benda itu indah dalam pengertian sesungguhnya karena penuh dengan nilai.... /kompas(AB9)

1 comment:

tempegaret said...

ya...klo terus dibiarkan pasti hancur...pihak kraton seharusnya memiliki cara untuk melestarikan budaya milik kraton...